Menilik “Jalan Menuju Neraka” Saketi-Bayah, Jadi Bukti Kejamnya Kerja Paksa

Romusha

Rel kereta api eks jalur Bayah - Saketi yang kini sudah tertimpa oleh kios-kios pedagang Pasar Saketi. Candra Dewi

BINGAR.ID – Sejarawan kondang asal Belanda, yang dikenal lantaran banyak meneliti, serta menulis tentang Tan Malaka, yaitu Harry A Poeze, pernah menulis dalam bukunya, bahwa jalur kereta api Saketi – Bayah sebagai jalan menuju neraka.

Ucapannya itu bukan kosong belaka, karena selama 48 tahun meneliti tentang Tan Malaka, beliau pernah mendapatkan data bahwa Tan, merupakan pemuda asal Suliki, Sumatera Barat, dan pernah menjadi juru tulis di pertambangan batubara Bayah Kozan, Bayah, Kabupaten Lebak, di era penjajahan Jepang.

Baca Juga : 100 Ribu Romusha Meninggal, Jadi Saksi Bisu Kejamnya Jalur Kereta Saketi-Bayah

Dalam penelitiannya itu, ia menemukan bahwa batubara dari pertambangan tempat Tan bekerja, diangkut ke luar Bayah menggunakan kereta api. Namun sebelum hal itu bisa dilaksanakan, Jepang terlebih dahulu membangun rel sepanjang 89 km, yang membentang dari stasiun Saketi, hingga ke stasiun terakhir, di daerah Gunung Mandur-Bayah, pada tahun 1943.

Besi-besi untuk membangun rel kereta api itu, diambil oleh Jepang dari rel kereta api nonaktif, yang ada di seluruh Pulau Jawa. Dimana semua upaya itu, dilakukan untuk mengeruk emas hitam, yaitu batubara yang jumlahnya melimpah di area sekitar Bayah hingga Cikotok.

Baca Juga : Jembatan Eks Jalur Kereta Saketi-Bayah, Riwayatmu Kini

Hal itu dilakukan Jepang untuk membiayai penjajahan, serta menambah kekayaan negara, karena saat itu Jepang berada di ambang Perang Dunia ke-2 melawan sekutu.

Dalam proses pembangunannya, rel kereta api dari Bayah ke Saketi tersebut, dilaksanakan oleh Romusha dari kalangan pribumi. Romusha ini adalah orang-orang Indonesia yang ditangkap oleh Jepang, dengan berbagai tuduhan dan dipaksa bekerja di bawah tekanan dan todongan senjata.

Dari buku Kisah Peninggalan Kereta Api Banten diketahui, selama membangun rel kereta api dari Bayah ke Saketi, para romusha berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, karena hanya dibayar 4 sen ditambah 250 gram beras per hari.

Baca Juga : Hidden Gem Tinggalan Belanda di Seputaran Perkotaan Pandeglang 2

Sementara beban pekerjaannya sangat berat, karena secara geografis jalur tersebut memiliki banyak bukit dan jurang, sehingga tak hanya membangun Rel di tempat yang datar, para romusha juga harus membelah bukit dan mengurug jurang, demi membangun jembatan kereta api serta stasiun.

Sebagai informasi, berdasarkan data dari buku Sejarah Kereta Api Indonesia Jilid I, dari stasiun Saketi hingga Bayah, ada sejumlah stasiun kecil, atau kerap disebut halte atau stop last, yaitu Stasiun Cimanggu, Kaduhauk, Jalupang, Pasung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyaungan, Cisiih, Bayah, dan berakhir di Stasiun Gunung Madur masih di area Bayah. (Bersambung)

Penulis : Chandra Dewi

Reporter Bingar.id

Berita Terkait