Penyintas Tsunami Selat Sunda Kembali Memupuk Asa di Tengah Dilema

Tsunami Selat Sunda

Huntap di Kampung Palingping, Desa Tunggal Jaya, Kecamatan Sumur. (Bingar/Syamsul)

PANDEGLANG, BINGAR.ID – Butuh waktu dua tahun bagi masyarakat Kecamatan Sumur, Pandeglang, yang menjadi korban tsunami Selat Sunda 2018, untuk bisa menetap di Hunian Tetap (Huntap) sebagai di rumah yang dianggap lebih layak.

Akhir tahun 2020, ratusan warga yang menjadi korban hempasan gelombang tsunami mulai menempati Huntap dan meninggalkan Hunian Sementara (Huntara). Salah satu lokasi pendirian Huntap adalah di Kampung Palingping, Desa Tunggal Jaya, Kecamatan Sumur.

Di sini, terdapat sepuluh Huntap yang diisi oleh sepuluh Kepala Keluarga (KK). Rumah mereka dibangun menggunakan metode Rumah Instan Struktur Baja (Risba) yang diklaim tahan gempa, dengan fasilitas layaknya perumahan tipe 36, terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan dapur.

Baca juga: Huntap Korban Tsunami Pandeglang Akan Dibangun Model RISBA

Seorang penghuni Huntap, Nurjaya menuturkan, Huntap yang dihuninya saat ini sebelumnya adalah lokasi Huntara, yang mereka tempati pasca- tsunami. Keluarga yang bermukin di Huntap, merupakan warga yang betul-betul tak memiliki rumah dan harta benda sama sekali akibat musibah tiga tahun silam.

“Rumah, harta benda kami, habis saat musibah itu terjadi. Tidak sedikit korban, yang juga kehilangan anggota keluarganya. Rumah dan barang-barang ini (dalam rumah, red) yang kami miliki sekarang,” ujarnya saat ditemui Bingar, akhir pekan lalu.

Penghuni Huntap sedang bercengkrama. (Bingar/Syamsul)

Ia mengaku, jika dibanding tempat yang dahulu ia huni, keberadaan Huntap ini berada di lokasi yang lebih aman apabila bencana tsunami kembali terjadi. Kini dia merasa lebih nyaman dan tenang bila meninggalkan istri, seorang orang anak dan cucunya untuk bekerja.

Namun begitu, Nurjaya mengaku kewalahan dengan jarak yang harus ia tempuh untuk mencari nafkah. Pasalnya, dia harus menempuh jarak dua kilometer untuk mencapai bibir pantai menggunakan sepeda motor.

“Kami terpaksa, harus pergi pukul 03.00 WIB atau jam 04.00 WIB kalau mau melaut. Karena kalau kesiangan, sudah ketinggalan sama nelayan lainnya. Jadi kalau tidak ada nelayan, kebingungan mau mendorong perahu ke tepi laut untuk berlayar,” keluhnya.

Baca juga: Ratusan KK Penyintas Tsunami di Pandeglang Segera Isi Huntap

Meski dilema, tapi dia tak punya pilihan. Karena kini pilihannya tentu untuk menyelematkan diri dan keluarga dari kejadian serupa. Walaupun serba keterbatasan, tapi dia bersyukur bisa mendapat hunian yang lebih aman.

“Sudah tujuh bulan mengisi di Huntap. Kalau enak memang rumah yang lama karena dekat ke tempat kerja. Tapi, kalau aman memang di sini, karena jauh dari laut,” sambung pria yang akrab disapa Nur itu.

Apalagi, ingatan tentang dahsyatnya gulungan ombak yang menimpa dia dan keluarganya pada waktu itu, masih membekas dan sesekali menimbulkan trauma. Tapi di sisi lain, itu yang meyakinkannya untuk tetap tinggal di Huntap.

Huntap di Kampung Palingping, Desa Tunggal Jaya, Kecamatan Sumur. (Bingar/Syamsul)

“Sudah ga ada lagi yang tersisa, bahkan (saat kejadian, red) saya hanya ada baju satu saja yang saat itu saya pakai. Perabotan mah ini bantuan,” katanya.

Baca juga: Pembangunan Huntap Korban Tsunami di Pandeglang Mulai Berjalan di Lima Lokasi

Kini Nurjaya dan keluarga lainnya penghuni Huntap, mulai kembali menata hidupnya yang sempat terguncang akibat bencana tsunami. Mereka bahkan kini lebih awas ketika terjadi guncangan gempabumi.

“Kalau ada gempa ya sudah penuh di sini tuh pada ngungsi karena trauma masih tetap ada,” imbuh Nur.

Selain diisi sepuluh unit rumah, kawasan Huntap itu juga dilengkapi sebuah musala sederhana yang terbuat dari kayu dan berkonsep panggung. Kemudian saat memasuki kawasan ini, juga ada toilet komunal, yang memiliki satu kamar mandi, satu bangunan buang hajat, dan sebuah tempat mencuci bersama.

Rumah-rumah warga juga ditanami beberapa tumbuhan yang sering dijadikan bahan masakan seperti cabai dan tomat. (Syamsul/Red)

Berita Terkait