PANDEGLANG, BINGAR.ID – Masyarakat Kampung Pambogoan, Desa Banyubiru, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten punya tradisi unik menyambut Hari Raya Idulfitri, yaitu ngariung. Tradisi ini diawali dengan gotong royong membersihkan pemakaman umum. Lepas itu, mereka berziarah dan diakhiri dengan ngariung atau duduk berkumpul sambil makan di jalanan kampung. Walhasil, tercipta suasana unik karena terlihat barisan panjang warga duduk makan bersama dibeberapa lokasi di kampung.
Untuk makanan, warga membawa dari rumah masing-masing. Makanan yang terdiri atas nasi dan aneka lauk pauk itu dikemas di rantang atau baskom yang ditutupi dengan kain taplak atau serbet. Kain itu disimpul sehingga mudah diangkat karena bagian simpulnya seolah jadi cangklong tali.
Baca juga: Tradisi Rebo Wekasan di Kampung Pamatang
Setelah proses bersih bersih kuburan selesai, rantang dan baskom itu dibuka. Isinya ditumpahkan di daun atau di kertas nasi yang digunakan sebagai alas makan lalu dimulailah acara makan bersama.
Tak ada standar makanan khusus untuk tradisi ini. Namun karena masih suasana lebaran biasanya makanan yang dibawa adalah makanan yang dihidangkan saat lebaran. Sebelum makan, warga duduk berjejer di sepanjang jalanan kampung, kemudian tetua kampung memimpin doa bersama. Usai makan warga terkadang masih duduk-duduk sambil mengobrol untuk melepas rindu.
Salah seorang warga Kampung Pambogoan Yadi Supriyadi, mengaku tak tahu kapan tradisi ini bermula. Namun seingat dia, tradisi ini sudah ada sejak ia masih kecil dan dilaksanakan di H+2 Idulfitri.
“Kita juga enggak tahu siapa yang dahulu memulai. Yang kita tahu tradisi ini diadakan untuk mempererat silaturahmi antara warga Kampung Pambogoan. Baik yang sehari-hari tinggal di kampung maupun yang merantau ke kota,” tuturnya kepada bingar.id.
Lebih lanjut, lelaki berusia 37 tahun ini mengatakan, tempat pemakaman umum dipilih sebagai lokasi awal sebelum ngariung karena umumnya saat lebaran orang Banten akan menyempatkan diri melakukan ziarah ke kuburan orangtua atau leluhurnya. Oleh karena itu, momen ziarah dianggap sebagai cara tercepat mengumpulkan warga.
“Jadi warga enggak sekadar ziarah, tapi membersihkan area pemakaman umum yang biasanya dalam kehidupan sehari-hari jarang dikunjungi. Ini juga bentuk penghormatan kita pada para pendahulu kampung, sekaligus memperindah kampung,” kata Yadi yang berprofesi sebagai praktisi pendidikan itu.
Ia dan warga kampung Pambogoan lainnya berharap agar tradisi ngariung di hari kedua lebaran selalu lestari. Agar anak cucunya kelak masih bisa merasakan suasana guyub dan akrab khas pedesaan Sunda.
Baca juga: Bubur Syuro, Makanan Khas Banten yang Sarat Makna Tauhid
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata riung atau meriung berarti duduk berkumpul. Sedangkan riungan berarti kumpulan. Budaya berkumpul ini senafas dengan budaya silaturahmi dalam Islam dimana ada waktu waktu tertentu anggota keluarga atau sesama warga duduk berkumpul untuk bercengkerama.
Berbincang alias mengobrol serta makan bersama adalah salah satu kegiatan yang biasa dilakukan saat ngariung. Tak lupa, saat meriung, orang juga melakukan kegiatan berdoa kepada Allah untuk memohon keselamatan, kebahagiaan, kesehatan, dan kebaikan semua.
Namun, kegiatan meriung ini tak selalu identik dengan kebahagiaan, tapi juga momen-momen kesedihan misalnya saat ada orang meninggal. Momen tersebut selain digunakan sebagai upaya mendoakan juga dipakai sebagai cara untuk menguatkan keluarga yang ditinggalkan agar kuat dan tabah menghadapi kehilangan dan kedukaan.
Jadi bisa disimpulkan, tradisi berkumpul ini sangat identik dengan budaya Indonesia pada umumnya yang dikenal memiliki rasa kekeluargaan yang erat dimana anggota keluarga saling bergantung satu sama lain. (Ishana/Red)