BINGAR.ID – Ombudsman RI merilis sebanyak 397 orang penyelenggara negara terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN. Namun data-data tersebut masih terus diverifikasi ulang berdasarkan status keaktifannya saat ini.
Ombudsman merinci, dari 397 orang dimaksud, komisaris terindikasi rangkap jabatan yang berasal dari Kementerian mencapai 254 orang (64%), dari Lembaga Non Kementerian mencapai 112 orang (28%), dan dari Perguruan Tinggi 31 orang (8%).
Untuk instansi asal kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58%, yaitu: Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).
Untuk instansi asal Lembaga Non Kementerian, 65% didominasi oleh lima instansi, yaitu: TNI (27), POLRI (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang). Sedangkan untuk instansi asal Perguruan Tinggi, tercatat seluruhnya berasal dari 16 Perguruan Tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (5 orang).
Baca juga: Dinas Sosial, Instansi yang Paling Banyak Dilaporkan ke Ombudsman
Anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih menilai, munculnya rangkap jabatan distruktur komisaris itu diakibatkan longgarnya regulasi yang dibuat pemerintah.
Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta. PP tersebut kemudian diubah menjadi PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik.
“Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan,” ujarnya.
“Ombudsman berpendapat bahwa pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk,” sambung Alamsyah.
Baca juga: Ombudsman Buka Layanan Aduan Maladministrasi Bansos Covid-19. Ini Caranya
Dalam tatanan operasional, terdapat beberapa hal krusial yang berpotensi maladministrasi dalam rekrutmen Komisaris BUMN. Beberapa hal tersebut adalah: konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, akuntabilitas kinerja komisaris.
“Pada gilirannya hal ini jelas dapat memperburuk tatakelola, menurunkan kepercayaan publik dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN,” jelasnya.
Ombudsman memandang proses rekrutmen Komisaris BUMN ini akan terus mengundang polemik kecuali pemerintah melakukan perbaikan secara fundamental.
“Untuk itu, terkait perbaikan hal-hal yang bersifat fundamental Ombudsman akan menyampaikan saran tertulis kepada Presiden RI, dan sejumlah masukan di tataran operasional kepada Menteri BUMN,” pungkas Alamsyah. (*Ahmad/Red).