BINGAR.ID – Pada Agustus 2020 lalu, sebuah laporan berupa riset mengenai penyebab Indonesia kerap dilanda bencana banjir lebih sering dan parah dipublikasikan.
Riset itu tertuang dalam jurnal Ecology and Society yang dikerjakan oleh tim peneliti gabungan dari University of Göttingen, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Dalam riset itu disebutkan bahwa perubahan tata guna lahan yang cepat di Indonesia telah berdampak pada siklus air lokal di negeri ini, salah satu dampaknya adalah berupa banjir.
Hasil riset menunjukkan bahwa perluasan perkebunan monokultur, seperti perkebunan kelapa sawit dan karet, menyebabkan banjir di Indonesia terjadi lebih sering dan lebih parah.
Baca juga: 136 Bencana Alam Sudah Terjadi Sejak Awal Tahun 2021
Dalam laporan hasil riset ini tim peneliti menjelaskan bahwa peningkatan frekuensi dan keparahan banjir ini terkait dengan proses ekohidrologi dan sosial yang saling memengaruhi, termasuk degradasi tanah di area pertanian monokultur, perluasan perkebunan kelapa sawit ke area lahan basah, dan pembangunan bendungan pelindung banjir.
Dalam riset ini, para peneliti melakukan hampir 100 wawancara dengan para petani kecil, masyarakat desa, dan para pengambil keputusan di provinsi Jambi, Sumatera. Mereka kemudian membandingkan dan melengkapi analisis mereka terhadap hasil wawancara ini dengan pengukuran ilmiah dari curah hujan, tinggi permukaan air sungai, tinggi permukaan air tanah, sifat-sifat tanah, serta pemetaan penggunaan lahan di wilayah tersebut.
“Banyak studi tentang hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan banjir hanya didasarkan pada analisis oleh masing-masing disiplin ilmu dan dengan demikian hanya memberikan wawasan yang terpisah-pisah tentang proses yang mendasarinya,” kata peneliti utama dalam tim riset ini, Jennifer Merten dari Department of Human Geography di University of Göttingen, sebagaimana dikutip dari ScienceDaily.
Baca juga: Dampak Bencana Sejak Awal Tahun, 192 Orang Meninggal Dunia
“Oleh karena itu, penting bagi kami untuk menggunakan data seluas mungkin dari berbagai disiplin ilmu dan juga untuk memasukkan pengamatan dari penduduk lokal,” sambungnya
Dalam laporan hasil riset ini, para ilmuwan dari German-Indonesian Collaborative Research Centre EFForTS (Ecological and Socio-Economic Functions of Tropical Lowland Rainforest Transformation Systems) menunjukkan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit dan karet saat ini memiliki dampak yang signifikan terhadap siklus air lokal.
“Perubahan penggunaan lahan skala besar menyebabkan pemadatan tanah, sehingga lebih sedikit hujan yang diserap oleh tanah dan air dengan cepat mengalir ke permukaan,” jelas Christian Stiegler dari Bioclimatology Group di University of Göttingen yang turut menjadi anggota peneliti dalam tim riset ini.
“Secara khusus, penghancuran lahan di daerah rawan banjir yang semakin parah berdampak besar dalam proses (siklus air lokal) ini,” imbuhnya.
Baca juga: Dua Cara Kendalikan Banjir Agar Banjir Bandang Lebak Tak Terulang
Dari perspektif penduduk desa, pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase juga berkontribusi pada perubahan pola banjir lokal. Karena perkebunan-perkebunan kelapa sawit semakin banyak dibudidayakan di lahan basah seperti dataran bantaran sungai atau lahan gambut, pemilik perkebunan yang lebih besar kemudian mencoba mengendalikan banjir di lahan mereka melalui pembangunan konstruksi semacam itu.
“Namun, bendungan seperti itu sering kali menyebabkan peningkatan banjir di perkebunan petani kecil di sekitarnya,” jelas Merten. Ia melaporkan berdasarkan pengamatan dan pengalamannya dalam mengunjungi daerah tersebut.
Menurutnya, peningkatan banjir semacam ini pada akhirnya juga menyebabkan ketegangan sosial dan konflik baru di antara lapisan masyarakat. Terutama antara petani kecil dengan pemilik perkebunan sawit yang lebih besar.
Baca juga: BMKG: Banten, Jakarta, Jabar, Jateng Masuk Kategori Siaga Potensi Banjir
Para peneliti dalam riset ini menyarankan, untuk mengurangi dampak perubahan penggunaan lahan pada siklus air, perlindungan tanah dan perencanaan penggunaan lahan yang lebih baik, terutama di daerah rawan banjir dan lahan basah, sangat penting untuk diterapkan karena hal ini dapat berpengaruh besar dalam mencegah banjir.
Selain itu, menurut Merten, penting juga untuk mengatur lanskap wilayah dan mengontrol pembangunan saluran air untuk perlindungan banjir terhadap masyarakat. Kalau hal ini tidak diatur dan dikontrol, orang-orang yang paling miskin dalam masyarakat justru bakal menjadi kalangan yang paling terdampak oleh efek peningkatan banjir ini. Sebab, saluran air yang dibuat justru mengalirkan lebih banyak air ke daerah mereka sehingga kebun dan tempat tinggal mereka jadi lebih rawan terkena banjir. (Ahmad/Red)