Pulosari, Saudara Kandung Semeru yang Masih Tertidur

Gunung Pulosari terlihat dari kawasan Desa Kadubumbang, Kecamatan Cimanuk-Pandeglang. (Foto : Candra Dewi)

BINGAR.ID – GUNUNG Semeru pada Sabtu (4/12) mengamuk. Tanpa tanda, tanpa peringatan, pasak Pulau Jawa itu memuntahkan isi perutnya. Akibatnya, sejumlah kecamatan di Lumajang Jawa Timur tertimbun abu vulkanik tebal. Banyak masyarakat menjadi korban meninggal dan luka luka. Siapa nyana, nun jauh dari Semeru, tepatnya di ujung barat Pulau Jawa ada gunung “saudara kandung” Semeru yang masih tertidur. Gunung tersebut adalah Gunung Pulosari yang wilayahnya meliputi sejumlah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Berdasarkan kisah pada naskah kuno Tantu Panggelaran, Gunung Pulosari atau dahulu disebut sebagai Gunung Kailasa diceritakan sebagai penggalan dari Gunung Mahameru di India atau kala itu disebut sebagai tanah Jambudvipa (Jambudwipa).

Saat itu para Dewa melihat bahwa Pulau Jawa yang indah hanyalah daratan yang sangat datar. Tak ada bukit, manusia, hewan dan pepohonan tinggi. Tak cuma itu, kondisi pulau juga tak stabil. Selalu bergerak, bergetar dan terombang-ambing di lautan sehingga akan merepotkan penghuninya bila pulau tersebut kelak diisi. Padahal, Pulau Jawa yang disebut sebagai Javadvipa (Jawadwipa) adalah pulau yang sangat elok dan cocok dijadikan tempat bersemedi.

BACA JUGA :Gunung Karang, Gunung Berapi yang Dikeramatkan

Merasa sayang dengan pulau yang elok tersebut, para Dewa berkehendak mengisi pulau yang elok itu dengan manusia, hewan, dan tumbuhan. Agar kelak manusia bisa hidup dengan nyaman disiapkan pula bentang alam seperti bukit dan gunung. Dalam kisah itu, gunung difungsikan sebagai pasak bumi agar Pulau Jawa bisa berdiri dengan stabil dan tak bergerak serta bergetar lagi.

Gunung Pulosari tampak menjulang bila dilihat dari kawasan wisata Cihunjuran, Kecamatan Mandalawangi. (Foto : Candra Dewi)

Maka, para dewa pun memotong Gunung Mahameru dan berencana memindahkannya ke Pulau Jawa sebagai pasak bumi yang akan menstabilkan pulau tersebut. Gunung Mahameru, kala itu diceritakan setinggi seratus ribu yojana. Saking tingginya sampai menyentuh langit dan dipuncaknya tinggallah Dewa Shiva atau Siwa. Maka setelah dipotong bagian puncaknya, tinggi Mahameru hanya setengahnya atau seperti tingginya saat ini.

Agar mudah dipindahkan, Bathara Wisnu berubah menjadi sesosok naga yang panjang dan besar. Naga itu kemudian membelitkan bagian tubuhnya ke penggalan Gunung Mahameru. Namun upaya itu masih belum membuahkan hasil sehingga Sanghyang Brahma membantu dengan berubah menjadi kura kura raksasa yang menyangga penggalan gunung Mahameru ke Pulau Jawa di tempurungnya.

BACA JUGA : Bunker Pasir Tariti, Monumen Perang yang Terabaikan

Dalam naskah diceritakan, proses mengangkut penggalan gunung ini tak hanya dilakukan dua dewa tersebut, namun dibantu oleh dewa lainnya seperti Dewa Bayu atau dewa angin, para resi, bidadari, bidadara, bahkan golongan gandarwa atau mahluk gaib berjenis kelamin lelaki.

Sampai di Pulau Jawa, penggalan Gunung Mahameru diletakkan di ujung barat Pulau Jawa atau kini terletak di Provinsi Banten. Lantaran diangkat dan dipijak oleh para dewa, di sepanjang tubuh penggalan Gunung Mahameru itu terlihat jejak kaki dewa yang bersinar sinar sehingga gunung tersebut sontak dinamakan sebagai Gunung Kelasa atau Kailasa yang berasal dari kata makelah kelah atau bersinar sinar.

Gunung Pulosari bila dilihat dari Desa Cilentung, Kecamatan Pulosari-Pandeglang. (Foto : candra Dewi)

Namun, karena diletakkan di ujung Barat, maka bagian timur Pulau Jawa menjadi terjungkit ke atas. Melihat hal ini para dewa akhirnya memotong lagi penggalan Gunung Mahameru yang kini sudah bernama Kailasa tersebut. Sisa penggalannya yaitu bagian pangkal hingga kini tetap berdiri kokoh di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai Gunung Kailasa alias Gunung Pulosari. Sementara, penggalan lainnya diangkut lagi oleh para dewa ke bagian ujung Timur Pulau Jawa.

BACA JUGA : Hilangnya Kerajaan Salakanagara Akibat Letusan Dahsyat Gunung Krakatau dan Karang Secara Bersamaan

Tiba-tiba, saat diangkut, sisa penggalan puncak Gunung Mahameru yang dibawa terbang oleh naga jelmaan Dewa Wisnu dan disangga kura kura raksasa jelmaan Dewa Brahma itu ambrol bagian bawahnya. Tanah tanah yang ambrol itu, saat jatuh ke tanah Pulau Jawa seketika berubah menjadi deretan gunung berapi yang berjajar di wilayah timur Pulau Jawa.

Tanah yang runtuh pertamakali menjadi Gunung Katong yang kini terletak di Tuban Provinsi Jawa Timur. Kemudian tanah yang ambrol kedua menjadi Gunung Wilis yang areanya meliputi enam kabupaten di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek.

Tanah penggalan Mahameru itu terus menerus ambrol saat diangkat para dewa. Ambrolan tanah ketiga berubah menjadi Gunung Kampud yang kini diduga sebagai Gunung Kelud yang kini termasuk Gunung berapi aktif yang wilayahnya meliputi Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang.

Ambrolan tanah selanjutnya berubah menjadi Gunung Kawi yang terletak diantara Malang dan Blitar, lalu ambrolan tanah Mahameru berikutnya menjadi Gunung Arjuna atau Arjuno, dan yang keenam menjadi Gunung Kemukus. Akibatnya penggalan Gunung Mahameru itu menjadi rompes atau sumbing di bagian tepi bawahnya. Maka bila didirikan akan miring atau doyong ke arah utara. Agar tak semakin banyak rompesannya maka para dewa berseru Ih Pawitra atau berarti “maka bersihlah” dan sisa rompesan tanah terakhir itu menjadi Gunung Pawitra sesuai seruan para dewa. Saat ini Gunung Pawitra dikenal sebagai Gunung Penanggungan yang berada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan.

BACA JUGA : Masjid Kuno di Bawah Kaki Gunung Karang yang Masih Berdiri Kokoh

Agar bisa berdiri tegak kendati bagian bawahnya sumbing, akhirnya penggalan Mahameru itu disandarkan pada Gunung Brahma atau Gunung Bromo agar bisa berdiri tegak. Begitu penggalan Mahameru itu berdiri tegak Pulau Jawa menjadi stabil dan tak terombang ambing lagi sehingga Mahameru yang kini disebut Semeru mendapatkan nama lain sebagai Gunung Nisada yang berasal dari kata nisada pageh atau berdiri kokoh dan menetap kuat.

Founder Yayasan Balaputra Salakanagara (YBS) yang konsen di bidang sejarah dan kebudayaan, Budi Prakoso saat dikonfirmasi mengatakan, kendati naskah Tantu Panggelaran adalah naskah sastra namun tak ada salahnya menjadi bahan acuan pemerintah daerah Pandeglang terkait mitigasi bencana gunung berapi.

“Apalagi, Gunung Pulosari saat ini masih berstatus sebagai gunung berapi aktif sehingga tak ada salahnya bila pemerintah mulai menerapkan sistem mitigasi bencana sebagai bentuk kesiapsiagaan demi meminimalisasi jumlah korban bila sampai terjadi bencana gunung meletus,” tandasnya.

Dikutip dari website Magma Indonesia milik Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Gunung Pulosari dan juga Gunung Karang yang berada di Kabupaten Pandeglang termasuk dalam gunung berapi tipe B atau gunung berapi yang memiliki sejarah letusan sebelum tahun 1600 Masehi. Hingga kini, kawah Gunung Pulosari masih mengepulkan asap belerang sebagai tanda dapur magmanya yang aktif. (Chandra Dewi )

Berita Terkait