PANDEGLANG, BINGAR.ID – Salah satu gunung berapi yang berada di Kabupaten Pandeglang adalah Gunung Karang. Raksasa tidur itu kini terlihat anteng. Padahal, 1600 tahun lalu saat masih bernama Watuwara, Gunung Karang pernah meletus dengan hebat. Bahkan letusannya memicu letusan Gunung Krakatau yang saat itu bernama Gunung Kapi sehingga dua gunung berapi ini “mengamuk” selama 10 hari berturut-turut.
Akibatnya daratan Pulau Jawa dan Sumatera sepenuhnya terpisah dan tercipta tsunami dahsyat yang menenggelamkan pesisir Banten. Tak cuma itu, abu vulkaniknya menyebar ke atmosfer dan menyebabkan the dark age di sebagian wilayah bumi khususnya di Eropa selama kurang lebih 16 bulan.
Dikutip dari buku Catastrophe karya David Keys, catatan mengenai letusan Gunung Karang bersama Krakatau yang merupakan gunung keramat Kerajaan Sunda muncul dalam kitab kuno Jawa karangan Raden Ronggowarsito berjudul Raja Purwa tahun 1869. Selain itu, ada pula penelitian dari Ken Wohletz dari Laboratorium Los Alamos New Mexico, Amerika Serikat yang mendukung catatan tersebut. Bencana dahsyat itulah yang diduga kuat menjadi penyebab utama redupnya Kerajaan Salakanagara yang berpusat di Pandeglang.
Baca juga: Hilangnya Kerajaan Salakanagara Akibat Letusan Dahsyat Gunung Krakatau dan Karang Secara Bersamaan
Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2019, dalam buku Dinamika Geologi Selat Sunda Dalam Pembangunan Berkelanjutan juga menyatakan hal serupa. Di buku itu, tim Badan Geologi menyatakan sebelum letusan tahun 1883, Krakatau sudah 11 kali meletus dan menimbulkan tsunami.
Letusan pertama adalah tahun 416 Masehi atau sama dengan pernyataan Ronggowarsito dalam Kitab Raja Purwa. Dalam buku itu juga diungkapkan kajian tentang lapisan batuan hasil proses pengendapan (stratigrafi) di cekungan Sungai Cibungur dan Cilemer yang terjadi akibat aktivitas vulkanik Krakatau yang berduet dengan Gunung Karang.
Sementara itu, dari sumber tertulis lokal yaitu Wawacan Haji Mangsur, pada salah satu versinya menyebutkan nama Gunung Karang sebagai lokasi munculnya Sultan Haji atau putra dari Sultan Ageng Tirtayasa sepulang berhaji dari Mekah. Diceritakan sebagai sosok sakti mandraguna, Sultan Haji berangkat ke Mekah melewati bawah tanah. Dalam peristiwa itu, ia diketahui “melanggar” perintah ayahandanya yang memerintah ia tak mampir kemana mana saat ibadah hajinya selesai. Entah bagaimana mulanya, ia malah mampir ke Cina dan menikahi seorang perempuan disana.
Ketika pulang ke Banten, ia lagi-lagi menggunakan jalur bawah tanah dan sepanjang perjalanan ia diikuti oleh aneka barang tambang mulai dari emas, perak, serta batu batu berharga. Haji Mangsur atau kini dikenal sebagai Syekh Mangsur merasa risih sehingga ia berlari lebih cepat dan mencoba muncul ke permukaan tanah lalu kemudian amblas lagi masuk ke tanah.
Kejadian itu menciptakan lubang lubang di tanah Gunung Karang. Di lubang ketujuh, barang-barang tambang itu menyerah mengikuti Haji Mangsur dan kini lokasi tersebut dikenal sebagai Sumur Tujuh. Belakangan, Haji Mangsur tahu bila gara-gara ia mampir ke Cina, ada seseorang yang menyamar menjadi dirinya dan melakukan kudeta terhadap ayahandanya. Maka, ia akhirnya memilih menjadi pemuka agama di lereng gunung keramat lainnya yaitu lereng Gunung Pulasari tepatnya di wilayah Cikadueun. Kini bernama Desa Cikadueun, Kecamatan Cipeucang.
Menurut peneliti Pigeud yang membuat tulisan tentang naskah sunda kuno yaitu Naskah Lor nomor 6530, Pucuk Umun, raja resi (pendeta) terakhir Kerajaaan Sunda adalah seorang ajar yang hidup di Gunung Karang pasca serbuan Hasanudin, anak Sunan Gunung Jati yang terbilang masih kerabatnya ke Pakuan Pajajaran. Sang Pucuk Umum ini adalah gelar yang berarti puncak pimpinan. Nama aslinya adalah Ragamulya Suryakancana yang setelah menasbihkan diri menjadi raja resi berganti nama menjadi Nusiya Mulya.
Baca juga: Masjid Kuno di Bawah Kaki Gunung Karang yang Masih Berdiri Kokoh
Sejalan dengan Pigeud, Hoesein Djadjadiningrat dalam buku Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten karya Hoesein, ada kepercayaan di masyarakat Sunda, bahwa ada kekuatan ajaib yang sumbernya dari tiga gunung di Pandeglang yaitu Gunung Karang, Gunung Pulasari (dulu bernama gunung Kailasa), dan Gunung Lancar yang kini diduga bernama Gunung Aseupan. Namun, sedikit berbeda dengan Pigeud, dari ketiga gunung tersebut yang dianggap paling keramat adalah Gunung Pulasari karena disana hidup Pucuk Umun bersama 800 ajar. Dalam bahasa Sunda kuno, angka 800 disebut sebagai domas.
Namun diceritakan dengan lebih detil dalam pupuh XVII Sajarah Banten, pasca-peristiwa penyerbuan oleh Hasanudin ke Pakuan Pajajaran dengan alasan kekuasaan, harta, dan penyebaran agama Islam, di akhir abad ke 16 ada sebuah wilayah yang dalam naskah ditulis sebagai Desa Sura. Area ini adalah area khusus yang diizinkan oleh Raja Banten sebagai tempat menetapnya sekelompok pendeta Hindu yang mengungsi dari Pasuruan, Jawa Timur.
Desa Sura yang dimaksud kini adalah dua desa yang letaknya diantara Gunung Pulasari dan Gunung Karang yaitu Desa Mandalawangi dan Mandalasari. Mereka sengaja dibiarkan di sana karena Hasanudin masih percaya bahwa bila area diantara ketiga gunung tersebut kosong tanpa ajar atau pendeta maka itu pertanda berakhirnya Pulau Jawa termasuk Banten di dalamnya.
“Suwung,……thandane yen arep rusak nagara Jawa puniki” begitu kutipannya. Jadi bisa disimpulkan, Djadjadiningrat dan Pigeud berbeda pendapat soal tempat tinggal Sang Pucuk Umun namun mengakui bahwa kedua gunung tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sejak dahulu.
Tak hanya dalam naskah dan kitab kuno Sunda, nama Gunung Karang juga muncul dalam roman mistik Jawa yaitu Serat Centhini. Dalam roman kuno itu diceritakan sang tokoh utama yaitu Jayengresmi melakukan pengembaraan ke sejumlah tempat keramat di Pulau Jawa salah satunya ke Gunung Karang untuk menemui seorang wali bernama Ki Ageng Karang alias Syekh Ibrahim Ibnu Abubakar.
Kini, Gunung Karang juga masih dikeramatkan oleh masyarakat dan jadi salah satu tujuan wisata ziarah karena ada sejumlah objek. Diantaranya, Sumur Tujuh, Penziarahan Simpereum Syekh Rako, Penziarahan Syekh Karan, Situs Pahoman, dan Situs Menhir Sanghyang Bunut. (Chandra Dewi/Red)