“Pokokna baheula, asal kami ka stasiun Rangkas, beuh laju bae eta seungit gurih minyak kalapa ngahiliwir. Beda seungitna geh jeung minyak sawit zaman kiwari….pokokna minyak kalapa mah leuwih gurih beh kaambeuna, sedep tea dak”
(Pokoknya dulu, saat saya ke Stasiun Rangkasbitung langsung tercium aroma wangi dan gurih minyak kelapa. Beda aromanya dengan minyak sawit masa kini……pokoknya minyak kelapa lebih gurih aromanya saat dicium, sedap gitu kawan -terjemahan Bahasa Sunda)
Ucapan itu meluncur ringan dari bibir kawan saya saat kami melewati Jalan Ki Maklum yang terletak di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Jalanan yang dipenuhi pedagang kaki lima itu membelah Pasar Rangkasbitung, melintasi rel kereta api Stasiun Rangkasbitung, dan berakhir di depan mallnya orang Rangkas yang dikenal sebagai Rangkasbitung Indah Plaza (Rabinza).
Mendengar ucapannya, ingatan saya melayang ke masa lalu. Saya jadi teringat bangunan itu semula bukanlah mall. Jadi, dahulu, tepatnya di tahun 1918, di lokasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah pabrik pembuatan minyak kelapa yang konon produksinya terbesar se-Asia Tenggara bernama Mexolie.
Nama itu hanya singkatan ya, kepanjangannya adalah _N. V. Maatschappij tot Exploitatie van Olie-fabriek_. Didirikan untuk kepentingan kolonial mengeruk sumber daya alam Banten, pendirian pabrik ini sudah dirintis sejak tahun 1900 sejalan dengan pembangunan rel rel kereta api yang bermuara di Stasiun Rangkasbitung.
Tak hanya di Rangkasbitung, pabrik serupa juga didirikan di sejumlah daerah di Indonesia yang memiliki potensi perkebunan kelapa. Diantaranya di Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, Kebumen dan Cilacap di Provinsi Jawa Tengah.
Bisa dibilang, aksi pemerintah Belanda mengeruk sumber daya alam Indonesia benar benar terencana dengan baik. Mereka mendirikan aneka pabrik di sejumlah daerah. Lalu, dibangun pula infrastruktur demi menunjang kelancaran operasional pabrik tersebut.
Pun dengan Mexolie. Pabrik ini, dahulu punya rel kereta api yang aksesnya terhubung langsung dengan gudang pabrik. Jadi, bahan baku kelapa yang mayoritas dari perkebunan di seputaran rel kereta api di Banten, dibawa ke pabrik ini menggunakan kereta barang.
Lantaran ada akses langsung maka gerbong pengangkut kelapa itu tak berhenti di stasiun, malah langsung masuk ke gudang. Begitu pula saat minyak kelapa siap dijual keluar daerah. Tong tong berisi minyak kepala, dinaikkan ke kereta barang dan dibawa ke daerah lain menggunakan jasa kereta api. Jadi ibaratnya, Stasiun Rangkasbitung dan Pabrik Mexolie adalah bagai sepasang sejoli yang tak terpisahkan.
Tak hanya itu, diseputaran pabrik juga dibangun mess mess untuk karyawan, termasuk kepala pabrik yang disapa sebagai bapak Resident Mexolie. Kini rumah kepala pabrik itu sebagian sudah rusak, dan sebagian masih dihuni oleh turunannya yang merupakan warga etnis Tionghoa yang sempat membuka warung makan di teras rumahnya.
Sesuai nama pabriknya, saya menduga kepala pabrik adalah orang Tionghoa keturunan Jawa lantaran saat berbicara keturunannya masih menyisakan jejak logat Jawa yang cukup kental di telinga. Di masa jayanya, Maxolie Rangkasbitung atau PT Semarang, menjadi pusat tujuan pengiriman hasil kebun kelapa di Banten.
Kelapa kelapa dari sejumlah perkebunan diantaranya dari Sawarna dan sejumlah daerah pesisir di Banten dibawa ke pabrik ini. Kelapa dibawa dalam kondisi sudah dikupas dan terpisah antara daging buah dengan batoknya. Kelapa itu kemudian dijemur di pelataran pabrik yang kini menjelma menjadi area parkir belakang mall Rabinza. Daging kelapa yang sudah kering itulah yang disebut kopra.
Kopra kopra itu, kemudian dicacah menggunakan mesin pencacah dan dipress atau diperas hingga keluar minyaknya. Setelah itu, minyak ditambahkan zat penjernih biasanya dibuat dari arang dan kemudian diuapi dengan uap panas dari ketel atau tanki besar di dalam pabrik.
Tujuannya untuk membunuh bakteri yang terdapat di minyak kelapa agar minyak menjadi awet dan tak lekas berbau tengik. Proses inilah yang membuat aroma gurih minyak kelapa menyebar ke seantero Rangkasbitung termasuk orang orang yang berada di seputaran Stasiun Rangkasbitung.
Oh ya, sebagai informasi, proses penguapan minyak kelapa menggunakan uap panas itu sangat penting karena minyak kelapa asal Rangkasbitung ini harus menempuh perjalanan ratusan kilometer hingga sampai di dapur para ibu atau pembuat makanan di sejumlah daerah lain, diantaranya Jakarta, dan Jawa Barat. Maka harus dipastikan saat dipakai konsumen, minyak dalam kondisi segar sehingga makanan yang digoreng menggunakan minyak ini menjadi lebih lezat.
Sayang beribu sayang, kenangan akan aroma gurih minyak kelapa asal Rangkasbitung ini semakin memudar dari tahun ke tahun. Puncaknya sekira tahun 2006 atau 2007 pabrik ini berhenti beroperasi. Area pabrik yang semula ingar bingar mendadak sepi seolah tak bertuan.
Bangunan bangunan mulai rusak, mesin mesin pabrik mulai menghilang entah kemana. Begitu juga dengan karyawan, satu persatu mengosongkan mess tempat tinggal mereka. Kabar yang beredar, pabrik ini bangkrut lantaran minyak kelapa terkalahkan fungsinya oleh kehadiran minyak sawit yang harganya lebih murah. Lalu sekira tahun 2009, entah atas dasar apa sebagian area pabrik dibangun menjadi mall.
Sementara, sisa bangunan bekas pabrik yang tersisa, dibiarkan tak terurus. Saya bahkan tak menemukan lagi sisa sisa mesinnya pengolah kopra maupun ketel ketel raksasa yang dulu berdiri gagah menjulang.
Kini, Mexolie seolah lenyap ditelan bumi, sampai sampai tak banyak warga Rangkasbitung mengetahui bahwa lokasi itu dahulu menyimpan kejayaan kota mereka di masa silam. Kejayaan dan kenangan tentang aroma gurih dan wangi minyak kelapa asal Banten. (Ishana/Red)