Tradisi Rebo Wekasan di Kampung Pamatang

Warga memanjatkan doa dengan khusyuk sebelum memulai acara inti Rebo Wekasan (Istimewa)

PANDEGLANG, BINGAR.ID – Bulan Safar, bagi sebagian orang adalah bulan kewaspadaan. Mereka yang percaya, mengacu pada tulisan Syekh Abdulhamid dalam Kitab Kanzunajah Wassurur halaman 23 hingga 39. Di kitab itu dijelaskan bahwa ada 320 ribu bala, musibah, dan penyakit yang diturunkan ke dunia dan puncaknya bertepatan dengan hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Bertolak dari hal itu, banyak umat Islam, khususnya di Pulau Jawa menggelar tradisi Rebo Wekasan. Rebo berasal dari kata Rabu atau Hari Rabu. Wekasan dari bahasa Jawa yang artinya terakhir.

Di Banten, tradisi ini dijalankan dengan berbagai versi. Ada yang menggelar pengajian di masjid dan musala untuk membaca kita Al Barzanji karangan Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji. Ada pula yang menggelar pengajian biasa tanpa membaca secara spesifik sebuah kitab tertentu.

Namun, dibeberapa daerah lainnya di Banten, tradisi ini diisi dengan kegiatan unik diantaranya makan bersama satu kampung. Hal itu terjadi di Kampung Pamatang, Desa Mekarwangi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Di kampung yang terletak di lereng Gunung Pulosari itu masyarakat duduk berjejer hingga membentuk barisan dengan panjang hingga belasan meter. Mereka membawa makanan dari rumah masing masing kemudian menggelar doa dan makan bersama di jalanan kampung. Suasananya khusyuk saat berdoa namun riuh rendah penuh canda tawa saat makan bersama.

Baca juga: Salakanagara Kerajaan Tertua di Bumi Nusantara

Sebagai gambaran, persiapan acara ini sudah dilakukan sehari sebelumnya. Para ibu sejak semalam sudah membumbui masakan berbahan dasar daging dan memasak ketupat. Ini karena umumnya, mereka menyandingkan ketupat dengan opor ayam.

Ada juga ikan mas yang dimasak acar kuning, sayur bersantan dari labu siam yang dicampur bawang lokio atau kucai dan sedikit daging. Tak lupa sambal goreng kentang, mi atau bihun goreng, dan emping.

Susunan menu itu tak mutlak, karena setiap keluarga bebas memasak masakan apapun yang disukai sesuai dengan dana yang dimiliki. Yang seolah wajib hanyalah ketupat dan lepeut atau ketupat berbentuk selongsong dan diisi beras ketan.

Pada hari H, sedari pagi para ibu dan para gadis asik mengolah makanan di dapur, sementara para lelaki dan anak-anak membersihkan jalanan kampung tempat digelarnya acara. Setelah masakan matang, warga akan menaruh makanan itu di jalanan kampung dan duduk bersama disana untuk berdoa dan makan.

Kaum ibu sibuk menyiapkan sajian utama Rebo Wekasan, ketupat (Istimewa)

Intinya prosesi ini mirip dengan tradisi papahare atau makan bersama banyak orang dengan membawa makanan dari rumah masing masing.

Pantauan bingar.id, tradisi makan bersama di jalanan Kampung Pamatang dimungkinkan lantaran tata letak jalanan di kampung ini mirip dengan tata letak komplek perumahan di perkotaan. Ini unik dan mengherankan lantaran letak kampung ini yang jauh dari perkotaan.

Apalagi, untuk menuju kesana kita harus melewati jalanan yang naik turun dan berbukit bukit. Tapi, kontur naik turun yang dirasakan selama perjalanan, tiba-tiba lenyap saat kita sampai di kampung tersebut.

Kita akan menyadari bahwa kampung itu dibangun di area datar seluas kurang lebih 10 hektare. Saking datar dan modern tata letak kampung ini, kita akan merasa berada di komplek perumahan karena tata letak rumahnya yang teratur. Tak ada rumah yang membelakangi bagian depan rumah lainnya. Paling kita akan menemukan letak rumah yang saling memunggungi.

Keteraturan tata letak inilah yang membuat kampung ini belakangan kondang karena diduga merupakan kampung purba eks wilayah Kerajaan Salakanagara sebagaimana diceritakan dalam Kitab Wangsakerta. Tak heran, Kampung Pamatang yang menjadi bagian dari Desa Mekarwangi sudah berulangkali mendapatkan kemenangan dalam lomba desa terbaik se-Pandeglang.

Panjang tradisi makan bersama dalam Rebo Wekasan ini bisa mencapai ratusan meter (Istimewa)

Acara makan bersama Rebo Wekasan ini menurut keterangan Kades Mekarwangi Ahmad Rafiudin yang didampingi Sekdesnya Yanto, sudah berlangsung lama. Mereka bahkan tak tahu siapa yang pertamakali memulai.

“Pokoknya dari sejak kami kecil tradisi ini sudah ada. Warga-warga yang usianya lebih sepuh dari kami pun saat kami tanyai, tidak ada yang tahu siapa yang pertama mencetuskan tradisi Rebo Wekasan karena mereka juga hanya mengikuti tradisi dari leluhur saja,” ujar pria setengah baya tersebut.

Sekdes Yanto menambahkan, bila ditotal ada ratusan warga yang terlibat dalam acara ini karena di kampung tersebut ada 7 Rukun Tetangga (RT) dan dua Rukun Warga (RW).

Sekira pukul 10.00 WIB, acarapun dimulai. Warga yang sudah duduk disetiap gang di jalanan kampung tersebut serentak mengangkat tangan untuk berdoa. Acara doa ini dipimpin oleh para ustaz dan tetua kampung. Usai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, mereka pun makan bersama.

Baca juga: Melacak Rajatapura, Ibukota Salakanagara yang Hilang

Disinggung tentang tradisi Rebo Wekasan di Kampung Pamatang, Founder dan Pembina Yayasan Balaputra Salakanagara (YBS) Budi Prakoso mengatakan, pascapenemuan artefak yang diduga peninggalan Kerajaan Salakanagara di kampung tersebut, pihaknya, sebagai lembaga yang menjembatani antara masyarakat dengan para arkeolog dan sejarawan, mengaku terus melakukan pembinaan ke warga untuk melestarikan artefak, berikut budaya unik sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah kampung tersebut.

Apalagi, dari perspektif YBS, tradisi Rebo Wekasan di Pamatang sangat unik dan berbeda dari acara serupa di tempat lain.

“Biasanya makan bersama setelah mengaji dalam acara Rebo Wekasan itu dilakukan di masjid dan mushola. Tapi di sini di jalanan kampung dan diikuti oleh seluruh warga tanpa terkecuali. Baik yang usianya tua, muda duduk sama rata dan sama-sama berdoa,” katanya.

Ini menarik dan unik serta layak untuk dijadikan event wisata tahunan. Oleh karena itu, Yayasan Balaputra Salakanagara sudah memasukkan tradisi Rebo Wekasan dalam program pemberdayaan masyarakat di organisasi tersebut.

“Tujuannya agar tradisi ini bisa dikemas menjadi magnet untuk menarik wisatawan berkunjung ke Pamatang dan akhirnya mensejahterakan masyarakat di sini,” kata lelaki yang pernah menjadi anggota tim penulis buku “Tapak Peradaban Purba di Lereng Gunung Pulasari” tersebut. (Ishana/Red)

Berita Terkait