BINGAR.ID – Bulan Muharam, atau umumnya disebut sebagai Bulan Suro adalah salah satu bulan istimewa bagi umat Islam lantaran di bulan tersebut terjadi banyak peristiwa besar dalam sejarah Islam. Diantaranya adalah diselamatkannya Nabi Nuh Alaihisalam bersama pengikutnya dari air bah.
Diselamatkannya Nabi Ibrahim Alaihisalam dari hukuman pembakaran oleh Raja Namrud, dan diselamatkannya Nabi Musa Alaihisalam dari kejaran tentara Firaun.
Seluruh peristiwa itu menggambarkan perjuangan para nabi dan rasul Allah menegakkan ketauhidan di muka bumi dan sepenuhnya menyerahkan seluruh ibadah jiwa dan raga hanya kepada Allah Subhanahuwataala. Selain itu menggambarkan pula tentang kemenangan hak dari kebatilan.
Dikutip dari Kitab Nihayatuz Zain karya ulama besar asal Banten Syekh Nawawi Al Bantani, peristiwa penegakan ketauhidan itu terjadi pada tanggal 10 Muharram atau pada Hari Asyura. Salah satu yang menonjol adalah peristiwa diselamatkannya Nabi Nuh Alaihisalam serta para pengikutnya dari air bah.
Dijelaskan dalam kitab itu, usai terombang ambing air bah selama berminggu minggu akhirnya air bah itu surut dan bahtera Nabi Nuh mendarat di Gunung Zud. Saat itu Nabi Nuh dan pengikutnya mengucapkan syukur kepada Allah karena telah selamat dan bisa segera turun dari kapal. Apalagi stok bahan pangan di kapal pun sudah menipis.
Agar memiliki tenaga dan bisa segera beraktivitas, Nabi Nuh memerintahkan kepada pengikutnya untuk mencampurkan sisa bahan pangan yang tersisa dan memasaknya menjadi bubur agar cukup untuk dimakan seisi kapal. Diantara bahan pangan yang dicampur adalah beras, gandum, dan aneka kacang kacangan yang konon jumlahnya ada 7 jenis.
Kisah inilah yang kemudian diteladani umat Islam di Banten. Namun, berbeda dengan aslinya, bahan pangan yang dipakai disuaikan dengan keadaan masyarakat. Diantara yang dihilangkan adalah gandum, karena bahan pangan ini kurang dikenal oleh masyarakat Banten.
Namun, bahan itu diganti dengan bahan lain sesuai kearifan lokal, diantaranya singkong atau jagung. Di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, penambahan singkong dan daging ayam banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar Kecamatan Labuan. Sementara di perkotaan Pandeglang umumnya memasukkan jagung dan aneka sayuran seperti wortel, seledri, dan daun bawang selain kacang kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai.
Oleh karena itu, sekilas bubur Syuro di Banten mirip dengan bubur Menado dari Sulawesi. Hanya saja, bubur syuro biasanya sarat akan kacang kacangan dan ditaburi irisan tipis telur dadar, emping atau kerupuk.
Untuk bumbunya, ada beberapa yang wajib diantaranya bawang merah, bawang putih, jahe, dan serai. Seluruh bumbu itu diulek dan ditumis kemudian dicampurkan ke air untuk memasak bubur. Di beberapa daerah di Pandeglang, selain bumbu tersebut ditambahkan bumbu lainnya seperti kunyit hingga buburnya bersemu kekuningan mirip bubur ayam kuah kuning.
Oh ya, keunikan lainnya dari bubur syuro di Banten adalah saat dimasak, bubur tersebut diaduk menggunakan tongkat yang dibuat dari batang tanaman kecombrang atau honje dalam Bahasa Sunda. Hal itu dipercaya bisa menambah rasa sedap pada bubur.
Hal lain yang unik adalah proses masaknya yang mengesankan budaya guyub khas pedesaan di Indonesia. Di Pandeglang, biasanya proses memasak bubur Asyuro dilakukan secara gotong royong oleh para ibu. Lokasi masaknya umumnya di lapangan atau di area sebelah masjid menggunakan tungku berbahan kayu bakar. Beberapa wajan besar diletakkan di atas tungku agar bubur bisa dimasak sekaligus.
Oleh karena itu, sebelum memasak, para ibu sudah berbagi peran. Ada yang memotong sayuran, ada yang mengurus beras dan kacang-kacangan, ada yang mengurus lauk berprotein seperti ayam dan telur, dan ada pula posisi tukang aduk bubur. Memang posisi tukang aduk ini spesial karena bubur syuro dicampur santan hingga harus terus diaduk agar bagian bawahnya tak gosong.
Selama proses memasak, para ibu mengobrol sambil bercanda. Sementara anak anak kecil bermain di sekitar lokasi tersebut. Sedangkan para bapak siaga memasok kayu bakar agar api di tungku selalu menyala. Sebagian bapak yang lain mengambil daun pisang karena di beberapa pedesaan di Pandeglang, bubur syuro disajikan dalam mangkuk daun pisang atau takir.
Setelah bubur matang, kemudian dimakan bersama sama sebagai hidangan berbuka puasa Asyuro. Prosesi itu diawali dengan berdoa bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat. (Ishana)