LEBAK, BINGAR.ID – Jika Anda bertandang ke Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Anda akan menemukan ribuan lumbung padi atau leuit tersebar di seantero desa yang ada di sana.
Ini tak mengherankan karena masyarakat adat Sunda termasuk Citorek masih menggunakan leuit sebagai garda depan sistem ketahanan pangan mereka. Selain leuit mereka juga menerapkan sejumlah aturan adat yang menjamin terlaksananya sistem ketahanan pangan terpadu tersebut.
Pemimpin Wewengkon Adat Citorek atau disebut sepuh/ oyok yaitu Abah Didi menuturkan, beras adalah makanan pokok warga Kasepuhan Citorek. Oleh karena itu, setiap warga Citorek apapun profesinya pasti memiliki sawah yang ditanami padi sebagai upaya pertama pemenuhan kebutuhan beras.
Ia juga menceritakan, hal pertama yang membuat ketahanan pangan di Citorek terjamin karena adanya lumbung atau leuit sebagai tempat menyimpan padi hasil panen.
“Jumlah leuit di sini ribuan karena warga Kesepuhan Citorek ini juga banyak. Mereka tinggal di sejumlah desa yaitu Citorek Kidul, Citorek Timur, Citorek Barat, dan Citorek Tengah. Dari jumlah itu setiap keluarga memiliki leuit masing masing untuk menyimpan padi kering hasil panen dari sawah mereka atau hasil menggarap sawah orang lain,” ujarnya dalam Bahasa Sunda.
Baca juga: Tak Pernah Kelaparan, Intip Cara Masyarakat Baduy Jaga Ketahanan Pangan
Lelaki sepuh namun masih terlihat tegap ini melanjutkan, selain mengandalkan leuit milik pribadi, lapis kedua ketahanan pangan warga kasepuhan Citorek adalah adanya leuit adat atau disebut leuit tangtu selain dari leuit pribadi masing masing keluarga.
Leuit tangtu ini padinya berasal dari sawah tangtu atau sawah adat yang digarap secara gotong royong oleh warga Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek. Luas sawah tangtu di Citorek mencapai ribuan meter persegi.
“Padi dari leuit tangtu ini seratus persen dipakai untuk keperluan adat. Jadi tidak mengancam ketersediaan pangan masing-masing keluarga. Adapun bila acara adat beras dari beras tangtu tak cukup maka warga yang memiliki leuit akan menyumbang sedikit saja sehingga tidak mengganggu stok pangan mereka,”katanya.
Ia juga menginformasikan, ada aturan pendukung yang menjamin terciptanya ketahanan pangan terpadu di Kasepuhan Citorek yaitu padi milik warga Kasepuhan Citorek tak diperkenankan untuk diperjualbelikan. Padi itu disimpan di leuit dan semuanya jadi cadangan pangan masing-masing keluarga. Bila melanggar aturan ini maka ada sanksi adat karena bagi masyarakat adat Sunda padi setara dengan nyawa saking berharganya.
Ia melanjutkan, aturan lainnya terkait ketahanan pangan terpadu adalah memastikan padi yang ditanam berkualitas sehingga padi itu tahan dan awet disimpan bertahun-tahun.
Ia memaparkan proses itu dimulai sejak padi ditanam di sawah, tumbuh dan akhirnya siap panen. Kata Abah Didi, setelah siap dipanen, padi-padi itu harus melewati upacara adat mipit atau ngabuat alias panen. Penetapan waktu panen tak sembarangan karena harus diputuskan dalam musyawarah adat yang dihadiri Abah sebagai pemimpin kasepuhan, para Jaro adat dan bares kolot dari seluruh desa di Citorek.
Setelah dipanen, padi hasil sawah masyarakat Kasepuhan diikat dalam satu ikatan besar yang biasa disebut sapocong kemudian digantungkan di batang bambu yang disebut lantaiyan selama 15 hari agar benar-benar kering.
Setelah kering, tahapan selanjutnya adalah prosesi adat yang disebut ngarengkong atau mengarak padi yang sudah dijemur selama 15 hari pasca-panen untuk dimasukkan ke leuit. Prosesi ini yang sering dikenal sebagai prosesi seren tahun.
Baca juga: Penerapan Budikdamber Bisa Jadi Solusi Penuhi Ketahanan Pangan
Proses panjang serta rangkaian doa yang dipanjatkan dalam aneka ritual adat itulah yang dipercaya membuat padi milik warga Kasepuhan Citorek bisa awet bahkan hingga 15 tahun. Walaupun warna bulir berasnya sudah menguning namun masih layak dikonsumsi dan rasanya tak banyak berubah.
Bingar.id yang berkesempatan menyantap beras dari padi yang sudah disimpan selama 10 tahun di leuit bahkan tak menemukan rasa yang aneh dan sempat tak mengira nasi yang dimakan berasal dari beras yang disimpan begitu lama.
Sistem ketahanan pangan terpadu ala Sunda inilah yang membuat warga Kasepuhan Citorek tidak perlu khawatir tidak makan, karena selalu ada persediaan padi di leuit yang bisa diambil kapan saja dibutuhkan.
Selain leuit, ada sistem lainnya terkait ketahanan pangan terpadu di Kasepuhan Citorek yaitu warga selalu menyisihkan sebagian padi dengan kualitas terbaik untuk keperluan bibit pada masa tanam selanjutnya. Bibit ini disebut pare indung. Dengan sistem ini, maka pertanian sawah akan terus berlanjut demi terciptanya ketersediaan pangan bagi setiap warga kasepuhan.
Proses pemilihan pare indung serta penyimpanannya juga melalui prosesi adat yang dipimpin tetua kasepuhan karena ritual ini sama dengan ritual terkait padi lainnya yang merupakan bentuk tradisi warisan leluhur untuk menghormati Dewi Sri alias Nyai Pohaci Larasati atau dewi pelindung padi.
Sistem ketahanan pangan terpadu lainnya yang ada di Citorek adalah, beras dari padi yang baru dipanen baru bisa dimakan oleh empunya padi setelah selesai upacara nganyaran atau selamatan pasca-panen.
Tapi aturan ini tak berlaku bagi padi yang merupakan jatah para buruh pemetik padi atau disebut gacong. Mereka boleh langsung memproses padi jatah mereka menjadi beras dan kemudian memakannya.
Aturan tersebut mencerminkan kebijaksanaan nenek moyang orang Citorek dalam menerapkan aturan adat. Hal ini lantaran para buruh pemetik padi biasanya tak memiliki lahan sendiri serta perekonomiannya dipandang kurang baik. Oleh karena itu, mereka digolongkan sebagai kalangan yang sangat membutuhkan beras itu secepatnya untuk keperluan konsumsi agar tidak kelaparan.
Baca juga: Pandeglang Pernah Ditawari Food Estate 10.000 Hektare
Selain padi, warga Citorek juga diperkenankan untuk menanam tanaman pangan lainnya seperti jagung, singkong, pisang, cabai, hingga aneka sayuran. Oleh karena itu, untuk kebutuhan pangan pendamping nasi, masyarakat tak perlu banyak mendatangkan komoditi pertanian dari luar daerah.
Bingar.id juga melihat, warga memanfaatkan sawah serta aliran Sungai Citorek dan Cimadur sebagai lokasi budidaya ikan air tawar dengan sistem karamba yang mereka sebut karangkeng. Selain itu, pasca-panen padi, sawah yang kosong dijadikan tempat budidaya ikan. Setelah ikan layak dikonsumsi maka dipanen dan prosesinya disebut sebagai nyogolan atau membedah tanggul sawah agar airnya berkurang sehingga mudah menangkap ikan yang dibudidayakan.
Proses nyogolan ini biasanya dilaksanakan sebulan sebelum mulai musim tanam atau disebut tandur. Jadi bisa dikatakan kebutuhan protein warga di sana sudah tercukupi dengan sistem budidaya ini.
Itulah sistem ketahanan pangan terpadu yang diterapkan oleh masyarakat Kasepuhan Citorek dan sudah teruji mampu bertahan ratusan tahun untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan. (Ishana/Red)