Masjid Pacinan Tinggi, Bukti Toleransi di Tanah Jawara

Masjid Pacinan Tinggi

Makam sepasang suami istri cina di area masjid Pacinan Tinggi Banten Lama. (Bingar/Dewi)

SERANG, BINGAR.ID – Provinsi Banten, yang dikenal dengan julukan Tanah Jawara kerapkali dipandang sebagai daerah yang eksklusif khususnya dalam hal agama. Memang, daerah ini dihuni oleh mayoritas umat Islam, namun toleransi adalah hal yang lumrah di Banten. Salah satu buktinya adalah Masjid Pacinan/Pecinan Tinggi di Kawasan Banten Lama.

Masjid yang lebih tua dari Masjid Agung Banten lama ini, ditengarai sebagai pusat peribadatan muslim Cina yang saat itu tinggal kawasan khusus yang disebut Pacinan atau Pecinan. Letaknya berada diluar benteng Keraton Surosowan, dan berdekatan dengan tempat ibadah bangsa Cina lainnya yaitu Vihara Dewi Kwan Im atau Avalokitesvara.

Bingar.id mencoba menelusuri mengapa Banten yang disebut-sebut sebagai daerah muslim memiliki sejumlah rumah ibadah dengan umat khusus seperti Masjid Pacinan Tinggi yang jamaahnya diduga adalah kalangan Cina Muslim.

Baca juga: Golok, Pusaka Raja Yang Terlupakan

Hal ini, sedikit terungkap dalam sebuah naskah Cina yang berjudul Sung Peng Hsiang Sung tahun 1430. Dalam naskah itu, Banten diketahui sebagai sebuah pelabuhan yang dilalui oleh rute-rute pelayaran ke pulau pulau di Nusantara maupun pulau diluar Nusantara. Diantara rute yang terungkap adalah rute Krueng (Aceh)–Barus (Sumut), Pariaman (Sumbar)-Banten.

Rute pelayaran ini dibuat oleh seorang Cina bernama Mao Kuan pada tahun 1421. Hal ini membuktikan bahwa Banten sudah sejak dahulu dikunjungi oleh bangsa Cina baik yang beragam Islam maupun non Islam. Sambil berdagang, mereka juga menyebarkan agama yang mereka anut ke sejumlah wilayah di Nusantara termasuk ke Banten yang dalam buku Ying Yai Seng Lan yang terbit tahun 1433, dinamai dengan Shun’ta atau Sunda.

Sumber lainnya yaitu buku Banten Sebelum Islam karangan Claude Guillot menyatakan, bahwa kawasan Banten lama tempat berdirinya Masjid Pacinan Tinggi dulu adalah salah satu kota pelabuhan milik Kerajaan Sunda. Kota pelabuhan itu, ramai didatangi orang dari mancanegara termasuk bangsa Cina untuk mencari lada atau dikenal sebagai pedes dalam Bahasa Sunda.

Seorang wisatawan melihat bekas mihrab atau mimbar untuk imam salat. (Bingar/Dewi)

Bahkan, saking ramainya, tak hanya bangsa Cina, di tempat itu juga didatangi para pedagang muslim dari bangsa Arab, Persia, bahkan Turki. Bukan itu saja, kota pelabuhan Banten juga ramai didatangi pedagang pedagang lokal dari pulau lain di Nusantara diantaranya dari Demak, Ternate, Banda, Bugis, dan Makasar yang mayoritas beragama Islam.

Maka, tak heran kalau di Banten yang kala itu masih bernama Sunda, dan agama para pembesarnya masih Siwa dan Hindu, hidup dengan damai sejumlah penganut agama lainnya termasuk Islam. Mereka berasal dari umat Islam mancanegara diantaranya Cina, Arab, Persia dan Turki yang menikah dengan penduduk setempat sehingga menciptakan sejumlah komunitas muslim termasuk komunitas muslim Cina.  Oleh karena itu, adalah wajar ketika di Banten didirikan bangunan masjid untuk tempat ibadah mereka.

Baca juga: Pabrik Minyak Mexolie dan Kenangan Aroma Gurih Minyak Kelapa Banten

Teori itu dikuatkan dengan catatan Tome Pires yang menyebutkan pada tahun 1512 di wilayah Kerajaan Sunda sudah ada masyarakat yang memeluk agama Islam dan mereka mayoritas tinggal di kota-kota pelabuan seperti di Cimanuk (Batas kerajaan Sunda dengan Cirebon), Banten, dan Kalapa.

Hal yang sama juga disebutkan dalam Buku Proses Islamisasi di Banten, Cuplikan Buku Masa Lalu Banten karangan Halwani Michrob, dan Mudjahid Chudari. Di buku itu, diketahui bahwa ketika Sunan Ampel Denta tiba di Banten untuk berdakwah, diketahui sudah ada masyarakat yang memeluk Islam. Tak hanya memeluk agama Islam, disana juga sudah berdiri satu masjid di kawasan Pacinan atau tempat tinggal bangsa Cina di sekitar Keraton Surosowan.

Dikemudian hari, masjid yang diduga sebagai Masjid Pacinan Tinggi itu mulai lapuk sehingga diperbaiki oleh Syarif Hidayatullah yang merupakan anak dari Nyai Rara Santang dengan pembesar Mesir. Rara Santang sendiri setelah memeluk agama Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Ia adalah anak  Raja Sunda Sri Baduga Maharaja dengan Nyai Subang Larang sehingga bisa disimpulkan Syarif Hidayatullah adalah cucu raja Sunda.

Makam makam kuno di area masjid Pacinan Tinggi. (Bingar/Dewi)

Berdasarkan sejumlah sumber di atas, bisa disimpulkan bahwa Masjid Pacinan Tinggi sudah ada sebelum Syarif Hidayatullah berkuasa tanpa diketahui secara pasti siapa yang membangunnya dan kapan dibangunnya. Namun, dengan berdirinya masjid tersebut, bisa ditarik asumsi bahwa penghuni tanah Jawara Banten sudah sejak dahulu menjunjung tinggi nilai nilai toleransi antar umat beragama dengan hidup berdampingan secara damai tanpa ada konflik.

Sayang seribu sayang, di area situs Masjid Pacinan Tinggi, tak ada keterangan tentang hal tersebut. Dalam plang objek wisata yang dibuat oleh BPCB Banten tahun 2019, hanya ditulis bahwa masjid ini dibangun oleh Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan oleh Pangeran Sabakingkin atau dikenal sebagai Maulana Hasanuddin antara tahun 1552 hingga 1570 masehi tanpa menyebutkan sumber rujukan sejarahnya.

Tak ada pula keterangan mengapa masjid itu kini hanya tinggal puing-puing saja. Apakah masjid itu dipugar, dihancurkan, atau justru belum beres pembangunannya. Tak ada pusat informasi, atau petugas yang bisa memberikan keterangan tentang hal-hal tersebut. Saat Bingar.id ke lokasi, hanya ada seorang petugas keamanan yang berjaga bergantian.

Baca juga: Menelusuri Jejak Tangan Kanan Soeharto Di Cigeulis

Sebagai gambaran, Masjid Pacinan Tinggi terletak di Jalan Vihara–Karangantu, Kampung Dermayon, Desa Pamengkang, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang. Masjid itu kini menyisakan puing-puing saja. Terlihat bangunan bekas menara, bekas pondasi masjid, mihrab atau tempat imam shalat, dan sejumlah puing lainnya serta sejumlah makam.

Kendati tinggal puing, bangunan itu masih menyisakan keunikannya karena tak hanya menggunakan material bata merah, bangunan masjid ini juga menggunakan batu karang sebagai pondasi dan juga material penyusun dinding. Di dekat mihrab, ada dua makam Islam tanpa keterangan nama pada nisannya. Makam itu dibuat dari bata-bata merah yang disusun. Sementara di sebelah utara menara, ada makam cina yang tulisan pada nisannya masih bisa dibaca dengan jelas.

Puing-puing ini diduga adalah bekas gerbang Masjid Pacinan Tinggi. Lokasinya terletak sekira 300 meter dari lokasi menara masjid. Ini menunjukkan betapa luasnya area Masjid Pacinan Tinggi di masa lampau. (Bingar/Dewi)

Rekan pecinta sejarah yang gape membaca aksara Cina, Pippo Agosto, saat kami sodorkan foto nisan tersebut menyatakan tulisan pada nisan tersebut adalah batu nisan suami istri. Dibuat tahun ke-22 masa Kaisar Daoguang (1842 Masehi). Yang pria bermarga Thio, yang perempuan bermarga Chow. Berasal dari Yunxiaou, Fujian.

Lalu siapakah mereka berdua? Lagi-lagi tak ada catatan sejarah yang bisa memastikannya. Namun dengan pentingnya kawasan itu, bisa jadi keduanya adalah tokoh masyarakat. Bukan tak mungkin adalah tokoh muslim Cina di kawasan Banten Lama karena dimakamkan di lokasi terhormat yaitu di area masjid.

Selain itu, sekira 300 meter dari situs Masjid Pacinan Tinggi, menyempil disela rumah penduduk, terdapat puing-puing dua tugu mirip gerbang. Bangunan itu diduga masih satu bagian dengan masjid Pacinan Tinggi. Masyarakat setempat percaya itu gerbang masjid. (Chandra Dewi/Red)

Berita Terkait