PANDEGLANG, BINGAR.ID – Sejumlah kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang merupakan daerah langganan banjir ditengarai sebagai lokasi Teluk Lada purba di era Kerajaan Salakanagara. Tak heran, setiap tahun khususnya ketika musim penghujan, sejumlah kecamatan tersebut diantaranya Patia, Sukaresmi, Angsana, Munjul, dan Panimbang digenangi banjir.
Kondisi ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk memperhitungkan fakta kesejarahan sebagai salah satu acuan menentukan metode pembangunan terbaik agar fasilitas umum yang dibangun di kecamatan rawan banjir tak mubazir karena selalu rusak diterjang banjir setiap tahun.
Baca juga: Kisah Kereta Api Pengangkut Ikan Asin Dari Labuan
Hal itu dikatakan oleh Dewan Pembina Yayasan Balaputra Salakanagara Budi Prakoso pada bingar.id.
“Pembangunan itu tak boleh asal asalan. Nah biar tidak asal asalan, maka pembangunan jngan sekali kali melupakan sejarah atau jas merah agar tepat guna dan tak mubazir,” katanya.
Ia kemudian menerangkan, berdasarkan kitab Wangsakerta Pustaka Radya I Bhumi Nusantara diterangkan bila keraton Kerajaan Salakanagara terletak disebuah daerah yang disebut dengan Kaduhejo. Wilayah ini ditandai dengan letaknya yang dekat dengan tepi laut.
“Hal yang sama juga tercatat di Pantun Pakuan Pakulonan tepatnya di lalakon Sipadaweruh yang menyebutkan kalimat “Sa’acan urang Hindi ngaraton di Kaduhejo” atau bila diterjemahkan “Sebelum orang India mendirikan keraton di daerah Kaduhejo,” katanya.
Ia kemudian mengajak untuk fokus pada tanda geografis tepi laut. Kata Budi, janganlah membayangkan kenampakan alam masa kini sama dengan kenampakan alam masa itu lantaran Kerajaan Salakanagara berdiri ribuan tahun lalu. Maka, yang kini merupakan tepian laut bisa jadi ribuan tahun lalu adalah laut dalam.
Salah satu buktinya di tahun 1980-an, masyarakat daerah Bojén Kecamatan Sobang, sempat ramai ketika masyarakat menemukan bangkai sebuah perahu ketika menggali sumur diarea pesawahan. Apa arti penemuan bangkai perahu di pedalaman Bojén, Kecamatan Sobang yang letaknya lumayan jauh dari pantai sekira 25 km dari pantai di Kecamatan Panimbang?
Baca juga: Kisah Duo Haji Pejuang dan Tameng Gaib di Pamatang
Maka, besar kemungkinan, lanjut Budi, sekitar Bojén, Perdana, Pagelaran, Cimoyan Kecamatan Patia dan Bojong Manik di Kecamatan Sindangresmi, Angsana, dan Panimbang yang sering alami bencana banjir, merupakan fyord (cekungan) garis pantai Teluk Lada purba yang menyambung ke Sungai Ciliman dan kemudian hulunya di lereng Gunung Pulosari sebagai tempat yang diduga adalah Kabuyutan eks Kerajaan Salakanagara.
Ciliman sendiri menurut Budi adalah sungai yang memiliki sejumlah anak sunga diantaranya Sungai Cidangiang di Munjul, Sungai Cikadu, Sungai Cimanuk, dan Sungai Cipambogoan.
Lalu bagaimana solusinya terkait hal tersebut? Budi menyatakan salah satu solusi adalah relokasi atau pemindahan penduduk. Namun melihat kepadatan penduduk di Teluk Lada purba tersebut solusi relokasi menurut Budi sangat berat bila hendak dilakukan.
“Maka solusi yang memungkinkan lagi lagi mengacu pada data kesejarahan. Yaitu mengembalikan bentuk rumah rumah penduduk di eks Teluk Lada Purba kepada bentuknya semula ribuan tahun lalu,” katanya.
Bentuk rumahnya, kata Budi adalah rumah panggung yang memiliki umpak atau dasar pondasi rumah yang tingginya minimal 1 meter. Bentuk rumah ini, kata Budi merupakan kearifan leluhur untuk beradaptasi dengan alam. Lantaran dahulu Kerajaaan Salakanagara berada di tepi pantai maka ada ancaman banjir rob maupun banjir dari luapan sungai yang bermuara di laut.
Baca juga: Melacak Rajatapura, Ibukota Salakanagara yang Hilang
Selain itu, di era Kerajaan Salakanagara adanya pengaruh Kebudayaan Đông Sơn atau kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini adalah karya suku bangsa yang menetap di pesisir Annam. Selain di Vietnam, kebudayaan ini juga menyebar ke seluruh Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
“Kami dari Yayasan Balaputra Salakanagara, memiliki dugaan awal bahwa Kebudayaan Dongson ini memengaruhi kebudayaan di Kerajaan Salakanagara dari sejak awal didirikan kerajaan tersebut. Asumsi ini didasari sebuah kalimat pembukaan pada naskah pangeran Wangsakerta yang menyatakan:
“I wesiyuga hana pha panghulu i pasisir Jawa Kulwan, bangsisirna ika pramanaran Aki Tirem atawa Aki Luhur Mulya ngaranira waneh”
Bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “Pada zaman besi, ada seorang penguasa di wilayah pesisir Jawa sebelah Barat di paling pesisir itu yang bernama Aki Tirem atau Aki Luhur Mulya nama lainnya”.
Aki Tirem adalah mertua Dewawarman I pendiri kerajaan Salakanagara yang sempat menimba ilmu tentang pengecoran logam ke pesisir Annam di Vietnam dan saat pulang tak hanya membawa ilmu tentang logam tapi juga membawa pula ilmu tentang bentuk bangunan yaitu rumah panggung dan kemudian diterapkan di wilayah yang ia pimpin. Aki Tirem menerapkan bentuk rumah panggung karena kondisi geografis di Annam mirip dengan di Salakanagara.
Budi yakin, bila perubahan bentuk rumah ini dijalankan, maka warga tak perlu menderita setiap tahun lantaran daerahnya jadi daerah langganan banjir. (Ishana/Red)