Kisah Kereta Api Pengangkut Ikan Asin Dari Labuan

Wajah depan Stasiun Labuan saat ini (Foto: Ishana/Bingar)

PANDEGLANG, BINGAR.ID – Kereta api adalah salah satu moda transportasi yang banyak digunakan masyarakat. Bahkan di Banten, tepatnya di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, dikenal kereta barang yang khusus mengangkut komoditi unggulan daerah itu yaitu ikan asin untuk dipasarkan ke kota seperti ke Rangkasbitung dan Jakarta.

Sayang, kini kereta api pengangkut ikan asin itu tak lagi berfungsi sejak tahun 1982 lantaran penghentian operasional kereta api ruas Labuan–Rangkasbitung akibat kalah bersaing dengan moda transportasi lainnya.

Dikutip dari Heritage PT KAI 2014 Sejarah Jalur Kereta Api Jalur Rangkasbitung-Labuan, di sepanjang jalur tersebut ada 19 stasiun yang beroperasi. Namun, setiap stasiun berbeda jenisnya. Perbedaan jenis ini membedakan pelayanan dan fasilitasnya.

Baca juga: Stopplaast Cikaduen, Stasiun Kereta Api Mini Sahabat Penziarah

Untuk stasiun Labuan atau Laboehan jenisnya adalah halte. Di stasiun jenis halte ada pelayanan naik turun penumpang dan bongkar muat barang. Lalu pengisian air lokomotif dan kayu bakar serta parkir kereta yang menginap sehingga esok bisa berangkat lagi.

Bagian depan stasiun (Ishana)

Jejak-jejak pelayanan kereta api di Stasiun Labuan yang terletak tak jauh dari Pasar Labuan itu masih bisa disaksikan hingga kini. Bangunan stasiunnya masih berdiri kokoh begitu juga rel relnya. Sayang, bekas talang air spoor untuk mengisi air ke kuali uap lokomotif sudah rusak.

Baca juga: Menelusuri Jejak Tangan Kanan Soeharto Di Cigeulis

Benda buatan kota Mannheim, German itu kini teronggok begitu saja dimakan karat. Dulu, stasiun ini bahkan pernah difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai lokasi usaha. Namun seiring rencana aktivasi lokasi yang terletak 12 meter dari permukaan laut (mdpl) itu dikembalikan lagi ke fungsinya.

Bekas pompa dan talang air untuk mengisi air di lokomotif uap (Ishana)

Sayang, penertiban itu tetap tak bisa sepenuhnya menyelamatkan dan mengembalikan sejumlah fasilitas stasiun lainnya seperti rumah dinas kepala dan wakil kepala stasiun.

Pantauan bingar.id, mess awak kereta api dan bedeng untuk pekerja rendahan di Stasiun Labuan pun sudah susah dicari jejaknya karena di sekeliling stasiun sudah dikepung pemukinan dan perluasan pasar.

Baca juga: Kisah Duo Haji Pejuang dan Tameng Gaib di Pamatang

Padahal, dahulu sekira tahun 50an, Stasiun Labuan termasuk stasiun tersibuk karena bisa melayani naik turun penumpang hingga 53 sampai 136 ribu orang per tahun. Selain itu, melayani bongkar muat barang hingga 7 ton per tahun dan sebagian besar dari barang yang diangkut adalah ikan asin dan garam.

Garam itu didatangkan dari Tenabang (Tanah Abang) dan diangkut hingga Rangkasbitung. Dari kota Multatuli itu, garam diangkut oleh kereta menuju Labuan dan digunakan oleh masyarakat dalam proses pengasinan ikan. Kelak saat ikan asin tersebut sudah jadi, diangkut lagi menggunakan kereta api ke Rangkasbitung dan Jakarta.

Bagian dalam stasiun (Ishana)

Selain ikan asin, masyarakat Labuan juga menggunakan jasa kereta api untuk mengirimkan ikan segar ke Menes, Saketi, Pandeglang, dan Rangkasbitung untuk dijual di pasar.

Mad Ria, Wakil Kepala Stasiun Pandeglang yang terletak di Kadomas mengatakan, awalnya saat masih dalam pengelolaan Staattspoorwegen atau Jawatan Kereta Api Belanda, kereta jurusan Rangkasbitung -Labuan dibagi dalam beberapa kelas. Mulai dari kelas II, kelas III, dan kereta khusus untuk pribumi (Inlandes).

Kereta api khusus inlanders itulah yang dipakai untuk mengangkut ikan, dan ikan asin. Saat sudah merdeka kelas kelas itu ditiadakan dan kereta dijadwalkan berangkat pulang pergi Labuan-Rangkasbitung sebanyak 5 kali sehari. (Ishana/Red)

Berita Terkait