PANDEGLANG, BINGAR.ID – Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang memberikan hak Restorative Justice (RJ) (keadilan restoratif-red) dalam penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa Sunti sebagai korban, warga Kecamatan Cimanggu.
Atas permintaan korban, pelaku yang bernama Dodi (suami korban), bakal menghirup udara bebas pada Senin (11/10/2021) karena memilih damai dengan sang suami.
Baca juga: Kejari Pandeglang Tangani 20 Perkara Narkoba Sejak Januari
Kasubsi Pra Penuntutan pada Kasi Tindakan Pindana Umum Kejari Pandeglang, Robert Iwan mengatakan, restorative justice di Kabupaten Pandeglang baru pertama kalinya dipergunakan oleh pihaknya dalam perkara KDRT.
“Di Pandeglang kami baru pertama melakukan restorative justice Alhamdulillah bapak Jaksa Agung ST. Burhanuddin, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Fadil Zumhana, Kajati Banten Reda Mantovani, dan Kajari Pandeglang Suwarno, mengabulkan atau menyetujui terkait penghentian penuntutan kasus tersebut,” kata Robert, Jumat (8/10/2021).
Ia menjelaskan, perkara KDRT itu terjadi di wilayah hukum Polsek Cimanggu. Berawal ketika seorang suami sebagai tersangka melakukan dorongan yang kuat kearah badan istrinya, kemudian istrinya terpental menghantam pagar bambu, kemudian kepalanya terbentur ke paving blok, dan sang istri pingsan.
“Si korban pingsan, korban dibawa ke rumah sakit, dan hasilnya korban tidak mengalami luka apapun. Kemudian karena sudah kesal dengan pelaku, istrinya pun melaporkan hal tersebut kepada Polsek setempat untuk ditindaklanjuti secara hukum,” jelasnya.
Baca juga: “Main-main” Dengan BPNT, Pemasok dan Agen Akan Berhadapan Dengan APH
Berjalannya waktu, istrinya pun merasa kesepian, karena suami harus ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Pandeglang. Akhirnya istrinya pun meminta permohonan kepada kejaksaan karena berkasnya sudah diterima oleh Kejaksaan Pandeglang.
“Dalam pengajuan itu dimohon perdamaian, istrinya memaafkan, istrinya mengampuni, istrinya menerima keadaan kembali suaminya dengan tanpa syarat apapun, termasuk tanpa ada syarat biaya pengobatan dan kerusakan yang terjadi di pagar,” ungkapnya.
Atas dasar permintaan itulah, penuntut umum merujuk pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan perintah Kejagung RI yang menyatakan agar bisa melakukan hati nurani.
“Beranjak dari situ, kami tim Jaksa Umum Khusus menangani perkara ini langsung meminta beberapa pihak untuk hadir agar bisa melaksanakan RJ. Nah, pada hari Senin, 04 Oktober 2021 lalu di Kejari Pandeglang, alhamdulillah hasilnya semua pihak menyetujui hal-hal positif,” kata Robert.
Dan hasil terakhir dari perkara tersebut disepakati dengan berdamai, setelah itu pihak Kejari Pandeglang membuat berita acara dengan membuat penyataan dan ditanda tangani oleh berbagai pihak.
“Kami mengajukan kepada Kejari Banten, dan Kejagung RI. Dan alhamdulillah dikabulkan serta disetujui hingga akhirnya kami akan menerbitkan surat tetapan penghentian penuntutan. Kejari pandeglang juga meminta agar segera menindaklanjuti perkara ini kepada tim Jaksa Umum,” tandasnya.
Baca juga: Kejari Pandeglang Tak Siapkan Timsus Untuk Pantau Dana Covid-19
Untuk diketahui, syarat-syarat dalam melaksanakan restorative justice (keadilan restoratif) diantaranya adalah pelaku belum pernah di hukum atau berhadapan dengan hukum dan diputus secara pengadilan.
Kemudian untuk tindak pidana ini dibatasi yakni, tidak lebih dari 5 tahun pidana penjara. Selanjutnya, untuk tindakan pidana yang kerugiannya diatas Rp2,5 juta, dan kalau Rp2,5 juta masih bisa masuk dalam program RJ. Selanjutnya, ada upaya perdamaian dari kedua belah pihak, baik tersangka dan korban, sebagai contoh misalnya adanya syarat ganti rugi ataupun tindakan pidana kejahatan dengan adanya biaya pengobatan.
“Dalam pelaksanaan RJ ini kita juga harus mengundang pihak-pihak salah satunya saksi korban, tersangka, Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan dari pihak keluarga lainnya,” pungkasnya. (Syamsul/Red)