PANDEGLANG, BINGAR.ID – Selain patung badak, salah satu icon perkotaan Kabupaten Pandeglang adalah patung seorang jawara di halaman depan Kodim 0601 Pandeglang, yang nampak berdiri gagah di atas sebuah tugu, dengan menggenggam dan mengangkat sebuah golok, yang menjadi lambang sebuah perlawanan.
Patung jawara dengan sebilah parang (golok) di tangan kanannya yang terangkat keatas tersebut, itu tampak posisinya menghadap ke Kantor DPRD Pandeglang, dengan berselempang sarung, serta memakai baju khas lelaki Sunda yaitu pangsi dan di kepalanya memakai ikat kepala khas orang Banten. Sedangkan di pinggangnya terselip sarung golok. Ia juga memakai ikat pinggang kulit lebar yang dihiasi dengan kantung-kantung kecil.
Baca Juga : Masjid Pacinan Tinggi, Bukti Toleransi di Tanah Jawara
Saat dipandang, proporsi tubuh patung tersebut nampak kekar. Jadi, siapapun yang melihatnya bisa yakin kalau ia adalah jagoan alias jawara. Tapi siapakah dia? Kenapa sampai ada patung dirinya di wilayah yang notabene adalah pusat perkantoran Kabupaten Pandeglang.
Kendati tak begitu dikenal di luar Banten, sosok orang yang dibuat patung itu bisa dibilang pahlawan besar di Pandeglang. Namanya Salmin bin Argo. Ia diperkirakan lahir tahun 1922 di Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang.
Seperti umumnya anak Pandeglang, sejak kanak-kanak hingga dewasa kehidupan Salmin tak lepas dari surau atau dalam Bahasa Sunda Banten disebut langgar. Jadi, bisa dikatakan, sehari hari Salmin kecil kegiatannya adalah seorang santri. Namun, jangan salah, di Pandeglang, santri tak melulu belajar ilmu agama. Tapi belajar bela diri pencak silat dan juga bertani.
Baca Juga : Pesona Pemandian Alam Cihunjuran yang Kental Dengan Mitos
Setelah dewasa, Salmin menikahi seorang gadis bernama Solehah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang damai. Kehidupan rumah tangga yang manis itu, makin harmonis saat Solehah melahirkan dua orang anak bernama Sujai dan Rafiah. Kendati tak berkelimpahan harta, pasangan Salmin dan Solehah hidup damai dan bahagia.
Tapi, dalam waktu singkat, kehidupan Salmin yang damai mulai terkoyak ketika penjajah Belanda datang ke Pandeglang. Perlawanan rakyat yang tak rela tanah kelahirannya dijajah Belanda membuat Salmin terlibat dalam pertempuran demi pertempuran untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Soalnya, di Pandeglang, perjuangan merebut kemerdekaan, mayoritas dimotori oleh para kyai dan ustadz. Otomatis, sebagai santri yang taat pada perkataan kyainya, Salmin tentu ikut dalam setiap pertempuran tersebut. Hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka.
Namun kemenangan dan kemerdekaan itu rupanya hanya terjadi di Jakarta. Di daerah, termasuk Pandeglang kemerdekaan tak serta merta dirasakan oleh masyarakat. Sehingga masih sering terjadi pergolakan dengan Belanda yang belum sepenuhnya pergi dari Pandeglang. Suasana makin memanas karena pada Desember 1948, Belanda yang sudah setengah terusir datang lagi dan bernafsu untuk menguasai kembali sejumlah daerah di Indonesia dengan melancarkan agresi militer Belanda II.
Baca Juga : Bermula Dari Pintu Palang Kereta Api, Kini Dikenal Dengan Sebutan “Sodong Pintu”
Serangan Belanda yang kedua itu mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat, termasuk Salmin di Pandeglang. Ia memimpin pasukannya merangsek ke tengah kota melalui Kampung Kadomas. Sasarannya adalah menghancurkan pabrik penggilingan padi berisi bahan pangan milik Belanda.
“Dalam setiap pertempuran, ketersediaan logistik atau bahan pangan adalah hal yang vital. Karena pasukan tidak akan kuat bertempur bila tidak makan. Maka bila ingin mengalahkan musuh yang pertama kali harus diserang dan dihancurkan adalah gudang logistik pasukan musuh tersebut,” kata Serka Iwan Suryadi, Anggota Kodim 0601 Pandeglang menceritakan kepintaran taktik perang Salmin.
Merujuk pada siasat itu, Salmin dan pasukannya menyerang gudang penggilingan padi milik Belanda yang berada di Kampung Kadomas Kecamatan Pandeglang. Siasat Salmin ini berhasil gilang gemilang, pasukan Belanda yang ada di Pandeglang sempat kocar-kacir dan tidak mampu menahan serangan dari para pejuang kemerdekaan di Pandeglang lantaran bertempur dalam kondisi perut yang lapar.
Sayang kemenangan itu hanya sesaat, karena datang bala bantuan dari tangsi atau pangkalan militer Belanda di Rangkasbitung. Tak hanya tambahan pasukan, pesawat tempur Belanda juga menyisir area-area tertentu di Pandeglang dari udara. Daerah yang diperkirakan sebagai markas pejuang langsung saja di bom tanpa ampun termasuk gudang penghilangan padi Kadomas dengan Salmin di dalamnya.
Baca Juga : Stopplaats Cimenyan, Stasiun Mini Tujuan Turis di Zaman Belanda
Akibat serangan udara itu, ratusan pejuang termasuk Salmin gugur. Kendati gugur, orang Pandeglang patut berbangga karena semangat juang Salmin sangatlah tinggi. Ia tidak menyerah hingga titik darah penghabisan. Buktinya saat jenazahnya ditemukan di dalam gudang penggilingan padi yang hancur di bom Belanda, di tangannya, masih tergenggam golok yang ia pakai untuk melawan prajurit Belanda.
Golok itulah yang konon saat ini digenggam oleh patung Salmin yang berdiri di depan Kodim 0601 Pandeglang. Dan bukan itu saja, di badannya juga ditemukan 7 peluru yang bersarang di sejumlah tempat. Ini menandakan bahwa ia tak menyerah untuk terus melawan walaupun harus merasakan ditembak berkali-kali hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir.
Kini, Salmin berbaring damai di Taman Makam Pahlawan Cihaseum. Namun di batu nisannya nama yang terukir adalah Salimin bukan Salmin. Entah kenapa itu bisa terjadi.
“Semoga kisah kepahlawanan Salmin yang adalah kakek saya ini bisa menginspirasi masyarakat Pandeglang untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran, mengutuk penjajahan, serta menunjukkan perilaku yang taat pada syariat Islam sebagaimana sudah dicontohkan oleh Bapak Salmin dari sejak ia kecil hingga ia akhirnya gugur,” imbuh cucu Salmin bernama Rahmat yang kini aktif di ormas Pemuda Panca Marga tersebut. (Ishana)