PANDEGLANG, BINGAR.ID – Nama Gunung Krakatau serta Gunung Karang sudah dikenal luas oleh masyarakat Banten. Bahkan Krakatau namanya kondang hingga keluar negeri karena sejarah letusan dahsyatnya. Sementara Gunung Karang, dikenal sebagai gunung keramat oleh masyarakat setempat, lantaran di lerengnya banyak terdapat lokasi penziarahan tokoh tokoh Banten.
Namun pernahkan Anda membayangkan kedua gunung tersebut meletus bersamaan? Saking dahsyat letusannya, sampai-sampai Kerajaan Salakanagara yang konon pusatnya berada di wilayah Kabupaten Pandeglang pun sirna tertutup abu. Tak hanya kerajaan, bencana maha dahsyat ini pula yang diduga jadi biang terpisahnya daratan Pulau Jawa dan Sumatera.
“Tolong dicatat, ini bukan letusan Krakatau abad 18, namun sebelum itu. Penelusuran kami mengacu pada naskah lokal Kitab Raja Purwa yang ditulis oleh pujangga Kesultanan Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito. Isi kitab itu kemudian dikutip lagi oleh David Keys dalam bukunya berjudul Catastrophe yang terbit tahun 2000an. Dalam paparannya, Ronggowarsito menyatakan pada tahun 416 Masehi terjadi letusan 2 gunung berapi di Banten secara bersamaan sehingga menimbulkan bencana maha dahsyat karena merupakan gabungan beberapa bencana diantaranya tsunami, gempa, kepulan awan panas dan abu vulkanik serta badai petir,” kata Cakra Widiantara, Ketua Yayasan Balaputra Salakanagara (YBS) dalam acara zoom meeting dengan tema melacak Salakanagara, Rabu (11/8/2021).
Baca juga: Salakanagara Kerajaan Tertua di Bumi Nusantara
Ia kemudian merinci pernyataannya. Dalam Kitab Raja Purwa, Gunung Krakatau disebut sebagai Gunung Kapi lantaran bagian kalderanya konon di waktu-waktu tertentu terlihat menyemburkan api sebagai tanda dapur magma yang sangat aktif. Sementara Gunung Karang, dalam kitab Ronggowarsito maupun buku David Keys ditulis sebagai Gunung Watuwara. Peralihan nama menjadi Karang menurut Cakra tak terlalu jauh karena makna watu senada dengan makna karang saat ini.
“Akibat kejadian tersebut, area yang kini menjadi Kabupaten Pandeglang, Cilegon, Serang bahkan hingga Lampung khususnya disekitar Gunung Raja Basa sirna tenggelam dan hanyut beserta harta bendanya. Bahkan daratan Pulau Jawa dan Sumatera yang semula masih bersatu karena ada jalur daratan amenjadi berpisah sempurna sehingga kini menjadi Selat Sunda,” katanya.
Maka, kata Cakra tak heran bila ia dan anggota YBS menemukan banyak hambatan dalam menelusuri Salakanagara karena bekas kerajaannya sudah tertimbun tanah akibat duet letusan antara Krakatau dan Karang yang meletus bersamaan selama 10 hari berturut-turut.
“Jadi bisa dikatakan, Salakanagara sirna bukan karena perang, bukan karena kudeta atau penjajahan bangsa lain. Namun karena ada bencana maha dahsyat yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayahnya sehingga akhirnya Salakanagara yang semula negara besar berubah menjadi negara bagian dari Kerajaan Tarumanagara yang namanya mulai moncer. Apalagi, pendiri Tarumanagara adalah Jayasinghawarman yang merupakan menantu dari Raja Salakanagara terakhir yaitu Nhay Arcamanik alias Spatikarnawa Warmandewi atau bergelar Dewawarman VIII.
Baca juga: Melacak Rajatapura, Ibukota Salakanagara yang Hilang
Disambung oleh Dewan Pembina YBS, Budi Prakoso yang juga hadir dalam zoom meeting itu, di Kitab Raja Purwa, Ronggowarsito dalam pembukaan kitabnya menyatakan bahwa, sebagian naskah karyanya diambil dari catatan Raja Kediri Sri Bathara Aji Jayabaya atau dikenal luas sebagai Prabu Joyoboyo dengan ramalan zaman edannya.
Kendati ramalan, kata Budi, Kitab Ronggowarsito tak bisa dianggap remeh karena jadi rujukan oleh David Keys dalam penyusunan buku Catastrophe dan pendahulunya yaitu Arthur Wichman untuk menyusun semacam catatan runut atau katalog, peristiwa gempa yang pernah terjadi di Nusantara pada 1918.
Lebih lanjut, menurut Budi, awal mulanya yang meletus Gunung Watuwara. Letusan itu bagai panggilan bagi saudaranya Kapi yang kemudian turut meletus.
“Pernyataan para ahli itu (Ronggowarsito, Keys, dan Wichman) menjadi dasar bagi kami menelusuri Salakanagara terutama menelusuri pusat pelabuhannya yaitu Teluk Lada atau Pepper Bay yang sudah dituliskan oleh Portugis dalam peta kunonya pada tahun 1500an,” kata Budi.
Ia kemudian meminta agar jangan membayangkan Teluk Lada masa kini yang masuk ke wilayah Kecamatan Sobang saja, karena dari penelusuran YBS, Teluk Lada era kerajaan Salakanagara sangat luas dan meliputi wilayah yang kini masuk sebagai Kecamatan Munjul, Angsana, Sobang, Labuan,Patia, Pagelaran, Sukaresmi, Panimbang, Ciseukeut sampai dengan Citeureup.
“Untuk lebih meyakinkan teori tersebut, kami juga meminta keterangan ahli geologi yaitu Bapak Dedi M Barmawijaya yang merupakan putra daerah Pandeglang. Dalam paparannya, beliau menyatakan bahwa posisi pantai barat Pulau Jawa abad ke-2 Masehi, berada pada ketinggian 50-120 meter di atas permukaan laut saat ini karena terjadi pengendapan yang sangat tebal akibat peristiwa vulkanik meletusnya Gunung Krakatau dan Karang bersamaan,” katanya.
Artinya, posisi laut saat Kerajaan Salakanagara berdiri, bukan posisi laut saat ini, begitupula dengan area daratanya. Area daratan kala itu bukan area daratan kini. Oleh karena itu wajar bila kecamatan-kecamatan yang ia sebutkan tadi rutin menjadi daerah banjir bila musim penghujan tiba karena sejatinya kecamatan-kecamatan itu berdiri di atas tanah endapan dialiran sungai yang bermuara di Pelabuhan Teluk Lada milik Kerajaan Salakanagara.
Baca juga: Lokasi Teluk Lada Purba Kini Jadi Kecamatan Langganan Banjir
Kendati alirannya sebagian areanya mengecil akibat tertutup daratan hasil endapan letusan dua gunung, sungai-sungai yang bermuara di Teluk Lada masih ada sampai sekarang. Pertama adalah Sungai Ciliman, dan Kedua adalah Cibungur. Cibungur adalah gabungan dari dua sungai yaitu Cikaduen dan Cilemer.
“Jadi kembali ke topik bahasan kita, kini kita bisa membayangkan dahsyatnya letusan Krakatau dan Karang saat itu. Yang bukan hanya membuat satu kerajaan sirna, Pulau Jawa dan Sumatera terpisah namun juga mengubah aliran sungai, lantaran abu vulkaniknya mengendap dan kini menjadi daratan baru yang menjadi pemukiman padat. Maka jangan heran kalau berdasarkan catatan kami, ditahun 1980 penduduk Kampung Bojen, Kecamatan Sobang yang letaknya jauh dari laut tiba-tiba menemukan bangkai kapal saat menggali sumur di area pesawahan. Ini menguatkan bukti bahwa area itu dulu merupakan aliran sungai yang kemudian bermuara di Teluk Lada yang merupakan pusat pelabuhan Kerajaan Salakanagara,” terang Budi sambil menambahkan abu dari letusan dua gunung itu terbang hingga kawasan Eropa bahkan menutupi athmospere sehingga akhirnya mengubah iklim disana. Masa itu dikenal sebagai the dark age atau masa kegelapan.
“Jadi beda dengan asumsi bahwa the dark age di Eropa sering disamakan dengan masa kebodohan, padahal beneran dark alias gelap sehingga masyarakat kelaparan akibat gagal panen dan suhu turun sehingga membuat banyak penyakit bermunculan,” kata Budi sambil terkekeh.
Senada dengan pernyataan Budi, penelusuran dokumen yang dilakukan bingar.id menyatakan hal serupa dalam buku Dinamika Geologi Selat Sunda Dalam Pembangunan Berkelanjutan yang diterbitkan oleh Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2019 silam.
Di buku itu, tim Badan Geologi menyatakan sebelum letusan tahun 1883, Krakatau sudah 11 kali meletus dan menimbulkan tsunami. Letusan pertama adalah tahun 416 Masehi atau sama dengan pernyataan Ronggowarsito dalam Kitab Raja Purwa. Dalam buku itu juga diungkapkan kajian tentang lapisan batuan hasil proses pengendapan (stratigrafi) di cekungan Sungai Cibungur dan Cilemer yang terjadi akibat aktivitas Krakatau. (Ishana/Red)