“Pesantren merupakan wadah penempaan kader-kader agamis, yang dapat membuahkan calon-calon ulama, maupun umaroh, yang mampu berfikir secara intelek, serta mampu bertindak tegas, dengan pertimbangan sikap adil dan bijak”
BINGAR.ID – Pada masa lalu, bahkan hingga kini, Pesantren sangat akrab dipanggil dengan sebutan “Bale Rombeng,” karena memang tempatnya yang sangat sederhana, dengan bentuk bangunan panggung, tersekat dingding dari kulit bambu (bilik-red), serta beratapkan daun rumbia.
Di balik Bale Rombeng atau Pesantren itu, banyak tersimpan cerita dan misteri hidup dan kehidupan anak manusia, untuk dapat mencapai satu tingkat kesempurnaan ahlaq, maupun iman, selaku kaum yang beragama (Islam-red). Bale Rombeng juga, merupakan tempat tinggal para musafir (perantau-red), yang berdatangan dari berbagai pelosok daerah, dengan berbeda suku, tingkatan hidup, serta daerah, yang biasa di kenal dengan sebutan “Santri”.
Secara sadar ataupun tidak, pada masa lalu, atau tepatnya masa penjajahan Kolonial Belanda, pesantren merupakan kancah penempaan kader-kader militan, juga sebagai sumber ilmu dari generasi penerus bangsa, untuk dapat tampil terdepan di dalam membela bangsa dan agamanya.
Dengan jarak yang cukup jauh, persiapan yang tidak memadai, resiko pengorbanan dan penderitaan yang begitu besar, untuk mendatangi Kiyai-kiyai yang sarat akan ilmunya. Berbulan bahkan bertahun, mereka menyatu dengan suasana dan linkungan yang penuh kedisiplinan, menjalin keakraban dengan sesama saudara sebangsa yang berdatangan dari berbagai penjuru daerah terpencil.
Sepakat mempertemukan tekad, percaya diri, berani, tegas, jujur, sabar, bijaksana, walaupun ilmu yang mereka dapat hanya untuk diamalkan kepada orang lain secara ikhlas. Mengkaji ajaran-ajaran Agama Islam yang diberikan oleh gurunya, kemudian di terjemahkan kedalam bahasa perjuangan bagi berbagai kepentingan bangsanya, seiring dengan perjalanan sejarah dalam mengadaptasikan pada zaman.
Ejaannya mampu mempertemukan kedamaian dalam hati, dalam mendekatkan keyakinan terhadap tuhannya (Allah), serta sesama manusia yang berpijak pada kebenaran. Memang selama berguru (menuntut ilmu keagamaan-red), tidak semua dapat menempuh dengan cara enak, tertib teratur, juga memadai akan segala-galanya yang di perlukan.
Berbeda dengan sekolah-sekolah formal maupun umum, yang lebih teratur dan tertib. Fasilitas yang memadai, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dari sarana sampai pada pemikiran kelangsungan para pelajarnya.
Dalam hal ini para santri lebih banyak menempuh cara hidup sederhana (Zuhud), tahan menderita serta tahan lapar, karena lebih berorientasi pada pencapaian Rohaniah (Spiritual) dan tidak berorentasi pada kehidupan duniawi secara berlebihan, sehingga mampu menjadi salah seorang Ulama berwibawa. (Aditya/Red)