BINGAR.ID – Pernikahan adalah momen yang sangat sakral. Tidak heran setiap daerah memiliki adat-istiadat khusus terkait pernikahan. Seperti di Serang, tepatnya di Kecamatan Padarincang, mempelai pria datang ke kediaman mempelai wanita diiringi rombongan buaya putih.
Bukan buaya sembarang buaya ya, karena buaya putih pengiring pengantin ala Padarincang bukan buaya betulan. Melainkan adalah replika buaya yang terbuat dari bambu yang dibentuk mirip buaya. Lalu bagian kepala buaya dibuat dari kayu yang dicat putih lengkap dengan moncong menganga dan dereta giginya yang runcing.
Bagian badan buaya dibuat cekung dan berfungsi sebagai wadah aneka barang seserahan serta keperluan hajat seperti aneka baju, sepatu dan kosmetik kesukaan pengantin perempuan. Tak lupa, aneka kue, masakan, dan hasil bumi (pisang, kelapa dll) juga ditaruh di sana. Di leher buaya, dikalungkan keperluan untuk menginang seperti buah jambe dan sirih. Terkadang, dibagian moncong buaya ditaruh ayam bakar khas Banten yang disebut sebagai bakakak.
Lalu, kaki buaya ditiadakan dan diganti menjadi dua batang tongkat bambu yang kelak akan dipakai sebagai tumpuan untuk menandu replika buaya tersebut. Biasanya yang bertugas menandu buaya ada empat orang lelaki. Jumlah tukang gotong ini bisa bertambah bila ukuran panjang buayanya meningkat. Saking panjangnya, terkadang bisa sampai 3 meter bahkan lebih loh.
Oh ya, setelah seserahan di tata di tubuh buaya, kemudian ditutup menggunakan daun kelapa muda atau janur.
Bagi orang Padarincang, buaya putih serta isinya menunjukkan gengsi keluarga mempelai lelaki. Makin banyak seserahan dan keperluan hajat yang dibawa oleh rombongan mempelai pria, maka keluarga tersebut akan makin “dipandang” oleh keluarga mempelai wanita dan masyarakat di sekitar kediamannya.
Prosesi membawa buaya putih ke rumah mempelai wanita disebut dengan prosesi ngarak karena mempelai pria berjalan berarak-arak bersama keluarga dan para pengiringnya diantaranya sejumlah penari perempuan, rombongan pemuda pembawa umbul-umbul, serta 1 orang laki laki yang berperan sebagai pawang buaya. Sang pawang ini mirip dengan longser dalam adat penyambutan ala Sunda. Tak lupa ada pemandu acara yang bertugas menarik antusiasme dan partisipasi dari penonton.
Tak hanya itu, agar makin meriah ada pula rombongan pemusik yang dikenal sebagai pemusik rudat yang membawa serta alat musiknya diantaranya kemplongan, gembrung serta rebana (terebang atau ketimpring). Ada pula juru kawih yang menyenandungkan puji pujian kepada Allah dan shalawat bagi Rasulullah.
Lalu kenapa harus buaya yang dijadikan sebagai wadah seserahan? Alasannya sama dengan masyarakat Suku Betawi. Masyarakat adat Padarincang Banten percaya bahwa buaya adalah hewan yang bersikap setia terhadap pasangannya. Bila salah satu mati, maka buaya akan hidup sendirian hingga akhir hidupnya. Oleh karena itu pengantin yang menikah diharapkan bisa meniru kesetiaan dari pasangan buaya tersebut. (Ishana)