Tolak IPO Pertamina. “Jangan Buat Hidup Rakyat Menderita”

Mohamad Mu’min El Mubarak (Dok. Pribadi)

Oleh: Mohamad Mu’min El Mubarak (Menteri Riset, Teknologi  dan Energi BEM KBM UNTIRTA)

Kesejahteraan rakyat sangat berkaitan dengan Pancasila Sila ke-5 (lima) yang menjadi  dasar dari kesejahteraan umum adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan harus berasaskan pada kekeluargaan.

Sistem ekonomi ini selanjutnya diamanatkan di dalam Pasal 33 UUD RI 1945 yang merupakan salah satu strategi para perintis kemerdekaan dalam menyusun UUD 1945 untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Di dalam Pembukaan UUD RI 1945 pada alinea ke-4 (empat) yaitu:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.

Pada alinea tersebut telah jelas bahwa konstitusi Indonesia merupakan penganut Paham Negara Kesejahteraan. Dengan demikian jelas bahwa tugas negara harus memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Strategi tersebut diaplikasikan pada pengambilan peranan penting oleh negara dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Secara eksplisit strategi ini tercantum di dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sehingga selama pasal ini tercantum di dalam konstitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah (BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan.

BUMN merupakan penjelmaan cita-cita dan falsafah berdirinya negara sebagai negara kesejahteraan. Sebuah konsep negara kesejahteraan menunjukkan bahwa negara dituntut berperan aktif dalam menyejahterakan rakyatnya. BUMN sebagai salah satu lembaga Negara yang mengelola kekayaan Negara salah satunya mengelola Sumber Daya Energi dengan tujuan memakmurkan rakyatnya. Hal ini tentu sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 bahwa;

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, tetapi saat ini hal tersebut berbanding terbalik. Menguntungkan satu pihak!

Beberapa hari belakangan ini pernyataan dari Erick Thohir selaku Menteri BUMN terkait privatisasi perusahaan milik negara yaitu Pertamina menuai banyak pro dan kontra. Dalam hal ini menteri BUMN ingin memprivatisasi Pertamina melalui IPO (Initial Publik Offering) subholding dengan alasan tranparansi dan akuntabilitas, hal ini disampaikan saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada tanggal 12 Juni 2020 yang dimuat dalam Salinan Keputusan Menteri BUMN No SK-198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dab Pengangkatan Anggota Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina yang menetapkan struktur organisasi direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang yang sangat menuai pro dan kontra baik dari kalangan pekerja Pertamina, Ahli Pengamat Energi, Dewan Legislatif, masyarakat dan tentunya mahasiswa.

Perlu diketahui bersama bahwa Pertamina merupakan Holding migas yang menaungi beberapa Sub-Holding diantaranya Upstream (Hulu), Pengolahan (Refenery, Petrochemical), Downstream (Pemasaran), Transportasi (perkapalan), dan Gas. Hal tersebut diperparah dengan dikeluarkanya Surat Keputusan SK No. Ktps-18/C0000/2020-S0 pada tanggal yang sama berisi tentang keputusan Direktur Utama untuk  membentuk Subholding-subholiding baru milik Pertamina dengan alasan keputusan tersebut adalah dalam rangka melakukan efisiensi di tubuh Pertamina dan mempercepat target untuk melakukan IPO (Initial Public Offering) bagi anak perusahaan PT. Pertamina.

Dengan bisnis Pertamina yang sangat menggiurkan, banyak pihak-pihak berkepentingan untuk ikut bergabung dalam bisnis Pertamina dimana puncaknya pada 29 juni 2018 terjualnya Pertagas yang merupakan sub-holding Pertamina yang berbisnis di sektor gas kepada PGN (Perusahaan Gas Negara).

Menurut Energia.news (Pertamina), PGN mengakuisisi Pertagas dan Pertagas Niaga dengan membeli 51% saham seharga Rp20,18 Triliun untuk 2.591.099 lembar saham ini juga termasuk PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas. Jika kita lihat dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pengertian privatisasi adalah

“Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat”.

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa privatisasi yaitu penjualan saham sebagian dan seluruhnya. Kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi bagi masyarakat. Kontroversi tersebut jelas berdampak kepada kepemilikian dan peran BUMN yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Apabila dijual saham seluruhnya tentu saja kepemilikan negara terhadap BUMN tersebut sudah hilang dan beralih menjadi milik swasta dan beralih namanya bukan BUMN lagi tetapi perusahaan swasta.

Dengan demikian, pelayanan publik ke masyarakat akan ditinggalkan apabila pengelolaan berpindah tangan ke pihak swasta, terutama swasta asing, dan tentu saja ini akan menciderai amanat UUD 1945 terhadap BUMN. Anggota Komisi VI dari Fraksi PDI-P Mufti Anam menilai bahwa IPO dapat menyalahi aturan karena kepemilikan asset Negara dapat berkurang hingga saham akan jatuh ke tangan pihak swasta atau asing. IPO ada potensi untuk sumber daya bangsa ini akan dijual.

Dalam hal ini kami tidak sepakat dengan adanya privatisasi terhadap sub-holding PT Pertamina (persero), bahwa jika perusahaan berplat merah yang bergerak di bidang strategis yaitu pengelolaan migas yang notabenya ada di dalam pasal 77 butir di UU No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN jelas tidak dapat diprivatisasi, karena PT. Pertamina (persero) bergerak dibidang usaha sumber daya alam dan secara jelas amanat konstitusi pasal 33 ayat (2) dan (3) PT. Pertamina harus dikuasi oleh negara! Privatisasi akan membuka gerbang liberalisasi migas yaitu memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak swasta (asing) dan mengakibatkan tidak terlibatnya peran negara dalam perusahaan tersbut, kebijakan ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang sesungguhnya pemilik sesungguhnya kekayaan negara.

Indonesia adalah negara hukum, dalam sebuah negara hukum pada asasnya setiap tindakan pemerintah haruslah dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh hukum, suatu tindakan pemerintah yang dilakukan tanpa dasar kewenangan adalah berakibat fatal demi hukum. Inskonstitusional. Hanya menambah masalah baru saja!

Maka dari itu kami menteri Riset, Teknologi dan Energi BEM KBM UNTIRTA menyatakan sikap:

  1. Mendesak kepada Presiden untuk membuat kebijakan yang menguatkan sektor energi sebagai jalan menuju kedaulatan energi Indonesia
  2. Menolak secara tegas segala bentuk dan upaya privatisasi PT. Pertamina (Persero)
  3. Menolak secara tegas model holding dan subholding dalam PT. Pertamina (Persero)
  4. Mendesak presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja menteri BUMN atas kebijakan yang dibuat.
  5. Menolak segala bentuk kebijakan Erick Thohir selaku Menteri BUMN, bahwa IPO Subholding Pertamina, tidak pro rakyat dan hanya menguntungkan para pemilik modal.

Berita Terkait

Berita Terbaru