Sulinggih Bali Saba Banten 3 : Kailasa Dan Kisah Aki Tirem Salakanagara

Romo Galuh, tokoh spiritual dari alas Purwo Banyuwangi sedang berdoa di area Tamansari di Cihunjuran, Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Chandra Dewi

“Gunung Pulosari atau dalam naskah kuno bernama Tantu Panggelaran, adalah Kailasa yang merupakan penggalan dari puncak Gunung Mahameru di India”

BINGAR.ID – Dalam naskah sebelumnya sempat diceritakan, bahwa proses mengangkut penggalan puncak gunung Mahameru ke Pulau Jawa tersebut, tidak hanya dilakukan oleh  dua dewa saja, namun dibantu oleh dewa-dewa lainnya, seperti Dewa Bayu atau Dewa Angin, para Resi, Bidadari, Bidadara, bahkan golongan Gandarwa atau mahluk gaib berjenis kelamin lelaki.

Diceritakan, sesampainya penggalan puncak Gunung Mahameru di Pulau Jawa, diletakkan di ujung barat Pulau Jawa atau kini terletak di Provinsi Banten. Lantaran diangkat dan dipijak oleh para dewa, di sepanjang tubuh penggalan Gunung Mahameru itu terlihat jejak kaki dewa yang bersinar sinar, sehingga gunung tersebut sontak dinamakan sebagai Gunung Kelasa atau Kailasa yang berasal dari kata Makelah Kelah atau “Bersinar Sinar.”

Baca Juga : Sulinggih Bali Saba Banten 1 : Persamaan Budaya Sunda Banten Dengan Bali

Namun, karena diletakkan di ujung Barat, maka bagian timur Pulau Jawa menjadi terjungkit ke atas. Melihat hal ini para dewa akhirnya memotong lagi Gunung Mahameru yang kini sudah bernama Kailasa tersebut. Dimana sisa penggalannya, yaitu bagian pangkal hingga kini tetap berdiri kokoh di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sebagai Gunung Kailasa alias Gunung Pulosari.

Sementara, penggalan lainnya diangkut lagi oleh para dewa ke bagian ujung Timur Pulau Jawa dan akhirnya menjadi Gunung Semeru. Berdasarkan kisah tersebut, sangat wajar jika Gunung Pulosari dianggap sebagai tempat yang sangat sakral atau keramat bagi agama Hindhu.

Hal ini pun diiyakan oleh para sulinggih dari Bali yang mengunjungi Gunung Pulosari, saat tiba di area perkemahan Cihunjuran di lereng Gunung Pulosari di Kampung Gombrang, Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, tepatnya di blok Tamansari yang terdapat semacam Punden berundak dengan aneka batu artefak bertebaran.

Baca Juga : Sulinggih Bali Saba Banten 2 : Asal Muasal Kailasa atau Gunung Pulosari

Para sulinggih tersebut kemudian langsung melakukan doa dengan cara mereka. Tujuannya untuk berkomunikasi dengan energi para leluhur yang menurut mereka sangat kuat. Bahkah salah satu sulinggih, yaitu Ida Satya Wimala, terlihat terharu saat berdiri di samping sebuah batu berbentuk bulat datar, sebari menyenandungkan beberapa bait lagu.

Setelah dicerimati lagu itu adalah lagu Bubuy Bulan yang isinya biasanya menceritakan kekaguman seorang gadis terhadap seseorang yang dia sayangi. Namun, kata sulinggih Ida, lagu itu kali ini menggambarkan kerinduan seorang gadis pada ibundanya yang tak jua ia temui semenjak ia lahir. Gadis tersebut ingin sekali bertemu dengan ibunya yang ia sayangi.

Baca Juga : Angklung Buhun” Karya Cipta Budaya Adiluhung

Menanggapi hal itu, Founder Yayasan Balaputra Salakanagara, Budi Prakoso mengatakan, kisah yang dituturkan sulinggih selaras dengan cerita rakyat setempat, yaitu tentang Nay Pohaci Larasati yang merupakan putri tunggal Aki Tirem pemimpin kemandalaan di Banten selatan saat itu.

Kata Budi, diceritakan dalam cerita rakyat setempat bahwa ibunda Nay Pohaci Larasati bernama Nay Ahn Teh yang merupakan warga dari Annam atau kini di Negara Vietnam. Ia meninggal di usia muda karena melahirkan anaknya. Setelah ibunya meninggal, Nay Pohaci Larasati dirawat seorang diri oleh ayahnya Aki Tirem.

Ketika Pohaci sudah mulai bicara, ia mulai menanyakan ibundanya. Lantaran tak ingin anaknya bersedih gara gara tahu ibunya sudah meninggal, Aki Tirem selalu berdalih bahwa ibu Pohaci sedang menenun pakaian di bulan. Pakaian itu adalah pakaian untuk Pohaci.

“Jadi saat anaknya rewel menanyakan ibundanya, Aki Tirem selalu menunjuk bulan. Kebetulan bayangan bulan memang menampakkan bayangan seorang perempuan dan seekor kucing. Kucing itu, kata Aki Tirem yang selalu mengganggu perempuan tersebut sehingga kain tenunannya tidak jadi jadi,” kata Budi, sambil menambahkan dalam cerita rakyat itulah yang kini oleh orang Sunda dikenal dengan Legenda Nyai Anteh. Seorang nenek yang sedang menenun di bulan.

Baca Juga : Rangkuman Hasil Riset Mengenai Angklung Buhun Baduy

Sementara itu, tokoh spiritual dari Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi Romo Galuh, yang turut dalam mengatakan, ia prihatin dengan kondisi artefak tinggalan leluhur Sunda di area Pulosari. Areanya yang bersemak seolah menunjukkan bahwa lokasi itu tak dirawat dengan baik. Padahal, menurut dia, melihat susunan batu batu tersebut tampak lebih bagus ketimbang batu serupa di kampung halamannya di Alas Purwo.

“Kondisi aneka tinggalan menhir di Pulosari ini yang tidak terawat sehingga terkesan acak acakan sesungguhkan menunjukkan kondisi bangsa kita saat ini. Manajemen negara yang kurang baik membuat aneka urusan di negara ini terlihat semrawut. Inilah yang harus kita cermati bersama,” ujarnya.

Lalu bagaimana solusinya, Romo Galuh menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali lagi ke jatidiri bangsa dan tidak melupakan ajaran leluhur khususnya terkait budi pekerti. Termasuk juga menata kembali area area tinggalan arkeologi yang saat ini masih berserak dengan tujuan agar energi kejayaan dari leluhur bisa bangkit kembali dan menginspirasi para pejabat negara dan juga rakyat untuk berkontribusi positif bagi negara. Harapan serupa disampaikan oleh para sulinggih diantaranya Ratu Bhagawan Satwika Piningit dan istrinya Ida Shri Empu Suranadhi. (*)

Tim Reportase Bingar.id : Chandra Dewi

Berita Terkait