Refleksi Akhir Tahun 2022 : Catatan Kekerasan Anak Di Kabupaten Pandeglang Masih Tinggi

Ahmad Subhan, Dosen STIA Banten dan Pekerja Sosial Anak, yang juga Ketua Pandeglamg Care Movement.

BINGAR.ID – Tindak kekerasan seksual hingga kini masih menjadi ancaman yang paling mengerikan dan terus menghantui anak-anak di Kabupaten Pandeglang Selama ini penulis mencatat berbagai kasus anak yang menjadi korban, mulai Januari hingga Desember 2022, penulis mencatat dari berbagai kasus yang di tangani steakholder yang terjadi sungguh sangat mengkwatirkan, Menurut catatan UPT PPA yamg dulu namanya P2TP2A telah terjadi 55 Kasus terlapor yang ditangani, Catatan Unit PPA Polres Pandeglang terlapor 57 kasus telah terjadi, bahkan Peksos Anak mencatat 86 Kasus yang ditangani dari kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dari Anak (ABH) sebagai Korban, Pelaku Bahkan Saksi Anak. Angka-angka ini sungguh angka yang cukup besar dan sungguh sangat memprihatinkan.

Bisa dibayangkan, hati siapa yang tak cemas ketika setiap hari kita membaca dan menyaksikan berita tentang anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual. berita tentang anak korban kekerasan seksual seolah bersaing dengan berita kasus-kasus kriminal lainnya.

Pada Oktober lalu, misalnya kita dikejutkan kejadian
RA (53) Seorang Guru dan merupakan salah satu PNS di sekolah dasar di lingkungan pemerintahan Pandeglang yang telah tega memperkosa Anak kandungnya sendiri. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan mencari rumah aman bagi dirinya justru menjadi korban ulah bejat Ayah Kandung.

Kasus lainnya yang tak kalah memprihatinkan adalah tindak kekerasan IR, (40), seorang warga Kecamatan Cikedal yang tega memperkosa anak tirinya yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama selama 7 bulan hingga menyebabkan korban hamil. Belum lagi seorang Ibu dan Anak di Pandeglang perkotaan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga sampai disiram dengan zat kimia sehingga menyebabkan luka bakar dan trauma bagi korban. Tidak kalah ramai Oknum Dewan Pandeglang melakukan cabul terhadap Gadis Remaja danMasih banyak kasus-kasus yang mengerikan dalam catatan penulis.

Hukuman bagi Pelaku

Berbagai kasus tindak kekerasan seksual memang sering kali berhasil diungkap aparat kepolisian dan para pelaku juga sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Akan tetapi, yang masih menjadi bahan perdebatan publik adalah apa sebetulnya yang harus dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kejadian tindak kekerasan seksual yang mengancam anak-anak dan Perempuan?

Di Pandeglang sendiri, kita tahu kasus kekerasan seksual hingga kini masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi anak-anak. Dalam catatan penulis bisa mencapai ratusan lebih dan juga kasus belum yang terlaporkan di Kepolisian.

Sepanjang 2022, daftar jumlah tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa dipastikan akan terus bertambah setiap harinya. Korban-korban baru terus bermunculan, seolah para pelaku tidak pernah takut dan jera melakukan aksi bejatnya yang menghancurkan masa depan anak-anak.

Dari segi komitmen dan payung hukum yang tersedia, pemerintah sebetulnya telah melakukan banyak hal. Pemerintah sejak 2016 menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, tepatnya pada 25 Mei 2016. Bahkan, hanya dalam tempo enam bulan kemudian, perppu itu telah disetujui DPR RI untuk disahkan sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 pada 9 November 2016 silam.

Dalam ketentuan aturan yang terbaru, sebetulnya telah diatur tambahan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak, mereka tidak hanya diancam pidana mati dan pidana seumur hidup, tetapi juga pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.

Khusus untuk ancaman hukuman kebiri bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak, meski secara resmi telah dicantumkan dalam ketentuan hukum yang berlaku, penerapannya di lapangan masih menjadi kontroversi. Tidak sedikit pihak yang menolak pemberlakuan hukuman kebiri kimia karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Alih-alih berempati dan membayangkan korban adalah anak-anak yang telah rusak akan masa depannya, sejumlah pihak menolak penerapan hukuman kebiri karena berbagai alasan. Hukuman pidana kurungan di balik jeruji penjara umumnya sudah dianggap cukup. Hukuman kebiri di mata sebagian orang dinilai lebih kejam daripada penderitaan anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan.

Cara pandang sebagian pihak ini yang tidak setuju hukuman kebiri kimia itu tentu mengecewakan keluarga korban. Tetapi, karena sampai saat ini ketentuan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kimia juga belum terbit, banyak korban dan keluarga korban yang akhirnya lebih memilih menerima nasibnya.

Peran Keluarga Menjadi Garda Terdepan Perlindungan Anak

Maraknya kasus-kasus yang menimpa anak tidak luput juga dari perhatian penulis mengingat pentingnya kualitas keluarga dalam perlindungan anak. Mengingat kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH), terutama anak korban yang belum mendapatkan hak-haknya dalam upaya perlindungan anak. Dan hampir rata-rata pelaku kejahatan terhadap anak orang-orang terdekatnya.
Keluarga merupakan satu hal terpenting dalam pengasuhan anak hanya saja apakah anak ada dalam pengawasan keluarga terdekat dalam pola asuh dan tumbuh kembangnya.

Keluarga juga dalam pengawasan anak harus lebih ekstra hati-hati terutama dalam pergaulan sosial maupun lingkungan pendidikan. Dalam catatan penulis kebanyakan beberapa kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) Anak korban, Pelaku maupun saksi kebanyakan ada dalam pola asuh yang salah pergaulan sosial lingkungannya.

Ketika kita berbicara upaya perlindungan anak seharusnya semua unsur ikut pun ikut terlibat karena, prilaku kekerasan pada anak dilakukan oleh orang sekelilingnya, dan korbannya hampir 70% perempuan dan anak usia 12-17 tahun. Penanganan kasus-kasus anak juga harus dilakukan penta helix bukan hanya secara parsial.

Sejati bukan hanya anak korban dan saksi tindak pidana yang perlu dilindungi. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana juga harus mendapat perlakuan hak yang sama.

Perlindungan terhadap identitas anak sudah diatur dalam Pasal 19 UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaaan di media cetak maupun elektronik,” begitu bunyi ayat 1 dalam pasal dalam sppa.

“Identitas yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah, dan hal lain yang mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi,” demikian bunyi ayat 2 dalam pasal yang sama.

Peran Serta Lapisan Masyarakat

Tak kalah pentingnya peran serta masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan maupun kelompok. Apabila dilakukan secara berkelompok pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Undang-undang juga mengamanatkan dalam pelaksanaan peran masyarakat ini untuk melibatkan unsur akademisi, hal ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan masyarakat melalui sosialisasi dan segala bentuk edukasi lainnya mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak.

Peran masyarakat dalam upaya perlindungan anak diatur dalam pasal 72 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak dan dibagi dalam delapan poin kegiatan.

“Apabila kekerasan terhadap anak sudah terlanjur terjadi, kewajiban masyarakat dalam negara hukum adalah melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak. Peran masyarakat tak berhenti hanya sampai pelaporan, terhadap anak yang telah menjadi korban kekerasan kewajiban lain yang harus dilaksanakan adalah berperan aktif untuk menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban kekerasan dan juga berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak”

Penegakan Diri

Di Indonesia pada umumnya, diakui atau tidak, hingga kini sikap masyarakat memahami tindak kekerasan seksual umumnya masih mendua. Di satu sisi, ada pihak yang benar-benar concern untuk peduli dan menempatkan anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual sebagai pihak utama yang harus dilindungi dan menjadi pertimbangan dalam memutuskan segala sesuatunya. Tetapi, ada pihak lain yang terkadang menempatkan anak sebagai korban sekaligus pihak yang ikut menstimulasi terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak.

Setelah melalui lebih dari 10 tahun proses perjuangan, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirya resmi disahkan menjadi Undang-undang (UU) oleh DPR RI saat Sidang Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 pada Selasa, 12 April 2022 lalu. Pengesahan tersebut disambut sukacita oleh  berbagai lapisan masyarakat, terutama para penyintas kekerasan seksual yang selama ini mengalami ketidakadilan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpanya.

Lebih dari sekadar kasus hukum, tindak kekerasan seksual sebetulnya adalah sebuah ancaman yang sifatnya multidimensi. Kekerasan seksual yang kerap menimpa anak perempuan (dan perempuan) sesungguhnya terjadi karena kekurangseriusan semua elemen untuk mencegah hal itu.

Hukum yang jelas dan tegas memang tidak diperlukan sepanjang komitmen dan self-enforcement norma sosial untuk melindungi anak bisa tegak dengan sendirinya. Tetapi, sepanjang masyarakat masih gamang dan bersikap mendua menghadapi kasus kekerasan seksual yang mengancam anak-anak, kepastian hukum merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Dengan payung hukum yang jelas, ruang gerak aparat penegak hukum akan lebih terarah dan hak-hak anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual akan dapat dipenuhi secara adil.

Proses Hukum

Sejatinya penanganan proses hukum kejahatan seksual juga harus dan wajib berorientasi pada korban, bukan hanya pada aspek keterpenuhan hukum semata. Dalam hal ini Penulis juga selalu melakukan upaya-upaya dan berkoordinasi, berkolaborasi dengan para pihak dalam upaya penegakan hukum bagi para korban kejahatan seksual yang didampingi.

Harapan penulis selanjutnya adalah pada upaya pemaksimalan rehabilitasi fisik dan psikis korban. Baik dalam UU Kesejahteraan Sosial Anak, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga KUHP tentang tindakan kekerasan seksual, harus sudah tersaji proses dan cara rehabilitasi bahkan sampai dengan proses restitusi bagi korban kekerasan pada Anak.

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 yang telah ditanda tangani oleh Presiden tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak yang dimana merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, karena menjadi salah satu fondasi penting upaya perlindungan anak di seluruh Indonesia. Termasuk di Kabupaten Pandeglang.

Namun, selain regulasi perlindungan anak yang tegas dibutuhkan upaya lain untuk melindungi anak-anak-anak dari segala macam bentuk kekerasan yaitu sebuah blueprint atau cetak biru perlindungan anak yang konkret dan secara komprehensif.

Banyaknya kekerasan Pada Perempuan dan Anak menjadi isu yang seakan tidak pernah selesai seperti fenomena gunung es dan menjadi lingkaran setan di dalam realita tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lapangan.

Maka, diakhir Tahun ini Penulis mengajak semua pihak agar lebih peduli terhadap anak dan perempuan, dan akhirnya kepada Negara serta Pemerintahan Daerah, saya mengajak, kita rubah paradigma perlindungan perempuan dan anak agar lebih inklusif, keberpihakan terhadap korban, pemberian keyakinan, kenyamanan, pelayanan maksimal serta pemberian restitusi bagi korban haruslah dilakukan setegak-tegaknya. Agar mereka, para korban dapat lebih merasa terbantu, para pelaku mendapatkan hukuman yang maksimal, sehingga menjadi satu informasi kepada masyarakat umumnya dan para pelaku, agar tidak ada lagi terjadi kasus-kasus sejenis dikemudian hari. Wallahu’alam.

Penulis : AHMAD SUBHAN

Dosen STIA Banten, selaku Pekerja Sosial Anak dan Ketua Pandeglamg Care Movement.

Berita Terkait

Berita Terbaru