PANDEGLANG, BINGAR.ID – Setelah sukses menginisiasi sebuah pertunjukkan dengan beragam atraksi seni mulai dari kolaborasi seni tari, musik, pantomim, hingga monolog pada pertengahan Januari 2023 bertajuk “Swara Jalawara Hawara, Suara untuk Padi”, Rizal Mahfud akhirnya merilis theme song pertunjukkan itu diberbagai platform digital.
Musisi muda asal Pandeglang yang fokus menekuni musik etnik itu menerangkan, dirilisnya Swara Jalawara Hawara merupakan lanjutan proyek pertunjukkan sebelumnya yang didanai oleh Dana Indonesiana.
“Swara Jalawara Hawara, merupakan satu dari empat lagu karya yang digarap. Rencananya setiap bulan akan dirilis satu lagu,” ujarnya, Rabu (15/3/2023).
Baca juga: Bebunyian dari Tradisi Huma Bakal Dibuat Pertunjukan Bertajuk Swara Jalawara Hawara
Kental dengan unsur musik bambu, lagu ini lahir dari kejayaan tradisi ngahuma zaman dulu, yang kini tradisi itu mulai mengikis karena tergantikan oleh penggilingan padi dan alat-alat pertanian modern lainnya.
Ngahuma sendiri adalah tradisi bercocok tanam padi yang ditekuni masyarakat Pandeglang Selatan, khususnya Cibaliung, dengan mengubah hutan alam menjadi hutan garapan. Tetapi, jumlah lahan dan petani huma di sana semakin berkurang, warisan tradisi yang hidup di masyarakatnya pun perlahan menghilang.
“Karya ini menjadi rangkuman sekaligus tumpahan rasa rindu dan keresahan atas tradisi huma di Cibaliung yang semakin terkikis,” kata dia.
Rizal menceritakan, dahulu nyanyian atau kidung-kidung selalu dilantunkan saat proses bercocok tanam bersamaan alat musik bambu Calung Renteng sebagai ungkapan syukur kepada Nyi Pohaci, sosok mitologi yang diyakini sebagai Dewi Padi.
“Maka untuk menghadirkan lagi kemagisan itu, di lagu ini menyelipkan bunyi-bunyi seperti Calung Renteng, Omprang, Karinding, sampai Lesung. Dan dirangkai pula dengan sejumlah alat musik modern agar lebih berterima dikalangan anak muda,” ucapnya.
Menurut Rizal, lagu Swara Jalawara Hawara juga merepresentasikan proses ngahuma dari mulai narawas, yaitu meminta izin pada penguasa bumi dan langit, lalu proses liliuran dimana petani pada zaman dulu melakukan tradisi ngaseuk secara kolektif dalam satu lahan ke lahan lain, saling membantu satu sama lain, hingga padi berhasil dipanen.
“Lirik dalam lagu ini pun mengandung banyak falsafah kearifan lokal yang masih relevan dengan era sekarang. Seperti penggalan lirik “saeutik mahi loba nyesa”. Yang artinya meski sedikit hasilnya, bisa mencukupi, pun hasilnya banyak ingin tersisa,” kata Rizal.
Baca juga: Legenda Kecantikan Wanita Cibaliung Diangkat Dalam Sebuah Lagu Folk
Dalam menyusun komposisi lagu berdurasi enam menitan itu, lanjut Rizal dibantu Fariz Alwan dari “Syarikat Idola Remaja” dan Arian Putra. Rizal mengakui hampir 70 persen komposisi lagu tersebut terdapat peran mereka berdua.
“Kalau saya lebih kepada mengeluarkan gagasan awal saja. Kemudian Fariz dan Arian yang menerjemahkan konsep itu dalam sebuah lagu,” ujar Rizal. (Ahmad)