PANDEGLANG, BINGAR.ID – Menes. Kendati kini hanya berstatus sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang, ternyata Kecamatan Menes punya sejarah besar yang tak banyak diketahui orang. Salah satunya terkait dengan Maria Ullfah Achmad, sarjana hukum perempuan pertama di Banten sekaligus Menteri Sosial Republik Indonesia yang pertama.
Kenangan itu bahkan memotivasi Maria Ullfah untuk membuat dan memperjuangkan aturan-aturan hukum yang berpihak kepada kaum marginal di era tersebut yaitu perempuan.
Baca Juga : 383 Mahasiswa STAI dan STKIP Babunajah Menes Diwisuda
“Ibu Maria Ullfah adalah salah satu dari beberapa tokoh perempuan di Indonesia. Beliau kelahiran Serang dan memiliki kenangan tentang Menes. Beliau, sewaktu kecil, bahkan pernah berkunjung ke Menes karena keluarga ayahnya berada di daerah ini,” ungkap sejarawan sekaligus anggota DPR RI Bonnie Triyana saat mengunjungi gedung Cagar Budaya Eks Kewedanaan Menes pada Kamis 12 Desember 2024.
Dalam kunjungannya itu, Maria Ullfah kecil, lanjut Bonnie melihat ketidakadilan yang dialami oleh adik ayahandanya atau bibinya yang bernama R.A Soewenda.
Baca Juga : Sejarah 6 Maret, Awal Terbentuknya Pasukan Kostrad
Anggota DPR RI dari Komisi X itu kemudian menceritakan, bibi Maria Ullfah itu diceraikan oleh suaminya Bupati Pandeglang yang bernama R.T Hasan Kartadiningrat. Akibat perceraian tersebut R.A Soewenda harus kembali ke rumah orang tuanya di Menes. Alasan perceraiannya karena tak juga memiliki keturunan padahal R.T Hasan Kartadiningrat dalam perkawinannya selanjutnya juga tetap tak memiliki keturunan.
Kondisi itu lanjut Bonnie sangat memprihatinkan karena menegaskan ketidakberdayaan perempuan kala itu. Yaitu bila seorang isteri yang diceraikan oleh suaminya, maka dianggap sebagai lambang kegagalan. Perceraian dianggap sebagai suatu “aib” bagi keluarga, karena perkawinan yang berujung pada perceraian, kesalahannya selalu ditimpakan kepada perempuan semata.
Baca Juga : Dukung Penetapan Warisan Dunia, Jalur Rempah Jadi Prioritas Kebudayaan Tahun 2021
“Kondisi pahit yang dialami oleh bibinya itulah yang memantik jiwa perjuangan Maria Ullfah untuk memperjuangkan nasib kaumnya yaitu kaum perempuan. Hal tersebut bahkan pernah beliau paparkan dalam pidatonya di Gedung Kebangkitan Nasional di Jakarta pada tanggal 28 Februari 1981. Oleh karena itu, bagi saya secara pribadi maupun sebagai sejarawan saya anggap Menes ini sebagai tempat yang sangat istimewa karena tak akan lahir seorang tokoh perempuan besar seperti ibu Maria Ullfah tanpa adanya kenangan pahit yang beliau saksikan di Menes ini,” tutur Bonnie.
Sambil mengelilingi dan meninjau satu persatu ruangan di dalam gedung eks Kawedanaan Menes dengan didampingi oleh Camat Menes Usep Sudarmana, Bonnie menjanjikan akan mendukung proses revitalisasi gedung Eks Kawedanaan Menes menjadi ikon Menes. Tak hanya itu, Gedung Eks Kawedanaan Menes juga diharapkan menjadi museum yang kelak bisa dijadikan tujuan utama bagi para pembelajar yang ingin mengetahui tentang sejarah Menes.
“Saya juga berharap gedung eks kewedanaan Menes ini bisa menjadi pusat aktivitas atau hub area untuk komunitas komunitas penggiat sejarah, seni, dan budaya di Menes dan sekitarnya,” tukas sejarawan lulusan Universitas Leiden Belanda tersebut saat mengakhiri kunjungannya.
Ditambahkan Camat Menes, Usep Sudarmana, selain gedung eks Kawedanaan Menes juga ada gedung gedung peninggalan kolonial Belanda yang letaknya di seputaran alun alun Menes antara lain Gedung Eks Tangsi yang kini berada di halaman depan Polsek Menes. Sejalan dengan ucapan Bonnie, sebagai putra daerah Menes ia berharap Menes yang sebelumnya sudah dikenal di Banten sebagai kota pelajar dengan adanya Mathla’ul Anwar, kelak juga akan dikenal sebagai kota sejarah dan seni.
Sebelumnya ditemui secara terpisah dalam acara sosialisasi perlindungan cagar budaya di Pandeglang. Kepala Balai Perlindungan Kebudayaan (BPK) VIII Lita Rahmiati mengatakan, perlindungan terhadap benda benda cagar budaya tak hanya urusan pemerintah semata. Namun juga membutuhkan partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut dibutuhkan karena pemerintah tidak bisa 24 jam menjaga dan melindungi benda-benda cagar budaya tersebut. Maka menurut Lita harus dimulai dari rasa memiliki benda-benda cagar budaya sebagai warisan berharga dari masa lalu yang akan berguna untuk generasi selanjutnya di masa mendatang. (Chandra Dewi)