PANDEGLANG, BINGAR.ID – Kerajaan Salakanagara di mata sejumlah sejarawan kerap kali hanya dianggap sebagai dongeng belaka, hal itu karena tak ada acuan naskah yang valid untuk membuktikan keberadaanya.
Ini lantaran, salah satu naskah acuan adalah kitab Wangsakerta, khususnya pada bagian Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang oleh sebagian besar ahli sejarah dipandang sebagai naskah yang kontroversial karena metode pengumpulan datanya dianggap tak sesuai disiplin ilmu sejarah.
Padahal, selama ini di wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten, banyak ditemukan benda-benda purbakala. Diantaranya diseputaran Gunung Pulosari atau di tempat lain seperti di Sanghyang Sirah di wilayah Taman Nasional Ujung Kulon.
Kisah tentang Kerajaan Salakanagara ini konon masyur di zamannya lantaran pernah disebut oleh ahli sejarah, geografi, dan astronomi Claudius Ptelemeus sebagai Aghyre atau kota perak.
Mengacu pada bukti bukti tersebut, Yayasan Balaputra Salakanagara terus melakukan pendataan dan pencarian benda-benda sejarah yang diduga merupakan peninggalan Kerajaan Salakanagara.
Salah satunya melacak keberadaan Rajatapura yang merupakan ibukota Kerajaan Salakanagara ke sejumlah wilayah di Pandeglang. Di Kecamatan Saketi, terdapat patung batu berbentuk gajah mirip patung ganesa.
“Sekira satu bulan lalu kami mendapatkan informasi dari masyarakat Kampung Pamatang, Desa Mekarwangi, Kecamatan Saketi bahwa di pesawahan Blok Cigalomprang ditemukan patung batu berbentuk gajah,” ujar Ketua Yayasan Balaputra Salakanagara, Cakra Widiantara kepada bingar.id di lokasi penemuan pada Minggu (11/10/2020).
Batu Mirip Patung Ganesha Ditemukan di Pesawahan Cigalomprang, Kecamatan Saketi (Ishana/Bingar)
Saat itu tim ekspedisi kesejarahan Yayasan Balaputra Salakanagara melakukan pengecekan ke lokasi dan menemukan sejumlah artefak diantaranya batu congcot dan batu remeh serta satu patung bayi gajah.
Patung gajah yang ukurannya besar dikenal oleh masyarakat sebagai Gajah Gumarang. Sedangkan patung bayi gajah letaknya berhadapan dengan lingga dan yoni.
Sekadar informasi, dalam agama Hindhu gajah melambangkan dewa ilmu pengetahuan, keselamatan dan kesejahteraan Ganesha yang merupakan anak dari Dewa Shiwa dan Dewi Parwati yang dilambangkan sebagai lingga dan yoni.
Atas penemuan itu, tim Balaputra melakukan pengaman lokasi dengan membuat pagar dan mengeringkan air di sawah tersebut dengan harapan bisa membuat batu batu disana tetap aman.
“Namun karena kami tidak memiliki otoritas untuk menentukan apakah benda itu termasuk benda cagar budaya yang berkaitan dengan Salakanagara maka kami melibatkan sejumlah ahli diantaranya Prof Moh Ali Fadillah. Ahli sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus dosen di Universitas Hasanudin Makasar. Selain itu melibatkan pula, dosen jurusan sejarah UIN Maulana Yusuf Serang yang merupakan lulusan dari Universitas Leiden Belanda Dr Mufti Ali,” kata Cakra seraya menyatakan pihaknya optimis temuan ini memiliki keterkaitan dengan Rajatapura yang merupakan pusat kota (Puseur Dayeuh) Salakanagara.
Dikonfirmasi saat meninjau lokasi, Doktor Mufti Ali terlihat antusias. Beliau mengatakan bila merujuk tentang Salakanagara tentu akan mengingat tentang Dewawarman yang merupakan duta dari Pallawa India.
Sepengetahuannya, kerajaan di India termasuk tertib dalam melakukan pencacahan atau sensus terutama pada keturunannya. Setelah dicacah, data akan ditulis dalam gulungan besar yang tersimpan di sebuah lokasi di pinggir Sungai Gangga.
“Apalagi kalau setelah kita kroscek data yang tercatat di gulungan tadi benar ada, maka tentu lokasi ini akan jadi destinasi bagi umat Hindhu dari seluruh dunia,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof Moh Ali Fadillah menyatakan pihaknya akan melakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu untuk memastikan benda yang ditemukan Yayasan Balaputra Salakanagara adalah benar benda cagar budaya.
“Sedangkan untuk menentukan apakah temuan ini berkaitan dengan Salakanagara, kami membutuhkan penelitian yang lebih mendalam,” katanya.
Dalam ekspedisi ini, turut pula Camat Saketi Hasan Basri dan Kades Mekarwangi, Ahmad Rafiudin. Keduanya berharap, bila memang temuan artefak itu sudah ditetapkan secara resmi sebagai benda cagar budaya diharapkan bisa menjadi pemicu kemajuan Desa Mekarwangi dan Kecamatan Saketi pada umumnya.
“Kami juga berharap ini membawa kesejahteraan bagi masyarakat kami,” kata keduanya. (Ishana/Red)