PANDEGLANG, BINGAR.ID – Kabupaten Pandeglang selama ini dikenal sebagai daerah religi. Hal ini tak lepas dari hadirnya sejumlah ulama besar ditambah berbagai peninggalan-peninggalan yang mencerminkan kuatnya penyebaran agama Islam di daerah selatan Banten ini.
Salah satu peninggalan yang masih ada sampai saat ini, adalah Masjid Baitul Asry atau yang kebih dikenal dengan Masjid Pasir Angin.
Baca juga: Bubur Syuro, Makanan Khas Banten yang Sarat Makna Tauhid
Soalnya masjid ini berada di Kampung Pasir Angin, Desa Pagerbatu, Kecamatan Majasari. Berdiri di bawah kaki Gunung Karang, masjid ini berdiri di tengah-tengah pemukiman rumah warga dan masih berdiri kokoh sampai saat ini.
Kesan kuno sangat terasa di masjid tua ini. Tampak dari luar memang bangunan masjid tua menyerupai rumah panggung tradisional. Lantai bangunan masih beralaskan papan kayu. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu tua ini memiliki ukuran 13 x 10 meter dengan lebar 10 meter.

Memasuki area masjid, terlihat empat tiang besar dari kayu tua. Empat tiang ini menjadi penyangga yang sampai saat ini masih berdiri tegak. Di dalam masjid terlihat dua lubang menghadap kiblat, letaknya persis di tengah bangunan. Satu untuk mihrab dan satu untuk mimbar.
Bangunan masjid ini hanya memiliki sepuluh tiang penyangga yang terbuat dari kayu namun masih saja terlihat kokoh. Yang mana, empat tiang terdapat di ruangan utama dan enam tiang lainnya terpasang di sisi bangunan.
Salah seorang pengurus masjid Busro menceritakan, karena sebagian besar material bangunan terbuat dari kayu, sejak tahun 1945 hingga 2005, masjid itu sempat beberapa kali renovasi. Termasuk penambahan bangunan di bagian depan.
“Bangunan masjid ini menghadap langsung ke Gunung Karang. Dan masjid ini memiliki tiga pintu. Memang pada 1945 pernah dilakukan perbaikan atap masjid. Dan pada 2005 lalu warga kampung bersepakat menambah bagian depan masjid agar bisa menampung jemaah lebih banyak lagi,” kata Busro, Kamis (14/4/2021).

Dari keterangan Busro, tidak ada yang tahu pasti kapan masjid ini dibangun. Namun diyakini, masjid ini sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Karena dari cerita yang beredar, dahulunya di masa penjajahan Belanda, masjid yang terbuat dari kayu ini digunakan oleh masyarakat sebagai tempat berkumpul guna menentukan strategi untuk melawan penjajahan.
“Karena, ayah saya saja yang meninggal pada usia 120 tahun tidak pernah mengetahui kapan didirikannya masjid ini,” ujar Busro.
Baca juga: Masjid Agung At-Tsauroh Akan “Diguyur” Anggaran Rp60 Miliar
Hingga kini, masjid yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Pandeglang ini, masih ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah.
“Selain warga lokal Pandeglang ada juga dari luar kota yang berkunjung ke sini. Bahakan dari luar negri pun sering ada yang berkunjung ke masjid ini,” katanya. (Syamsul/Red)