Kesetaraan Gender : Apakah Perempuan Sudah Mendapatkan Hak Mereka?

Fatima Bella Mahardika

BINGAR.ID – Seringkali masyarakat salah mengartikan kesetaraan gender dan arti gender yang sudah jelas berbeda. Gender, seperti yang kita semua tahu, adalah sebuah kata yang mengandung banyak arti. Gender dapat berarti pembagian peran, atau tugas-tugas yang diberikan pada tiap individu sesuai dengan jenis kelamin mereka oleh masyarakat sosial itu sendiri.

Lalu, sebenarnya apa kesetaraan gender itu? Secara garis besarnya, kesetaraan gender adalah kondisi terciptanya lingkungan dengan hak-hak yang dijunjung sama antara perempuan dan laki-laki sebagai manusia. Hal ini sebenarnya sudah muncul sejak lama.

Seperti yang sudah terjadi di Inggris dimana kepemimpinan Ratu Elizabeth II berhasil membuat Inggris menjadi salah satu negara adidaya sampai sekarang ini. Hal ini menunjukkan, bahwa peranan kepemimpinan juga dapat diemban oleh kaum perempuan.

Tak hanya itu, perempuan juga kerap kali melakukan berbagai aksi penggerak, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia saat itu. Hal ini dibuktikan oleh berbagai aksi yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini, Martha Christina Tiahahu, dan pahlawan-pahlawan wanita lainnya. Mereka menggerakkan tidak hanya kaum wanita di daerah mereka, tapi juga seluruh bangsa Indonesia untuk tetap maju di era yang sangat suram kala itu.

Akan tetapi permasalahan yang muncul sejak dulu masih ada sampai sekarang dan  membuat perempuan seperti dalam kekangan. Bagaimana tidak, kasus dimana anak perempuan dipaksa untuk menikah di usia yang masih cukup muda terbilang tidak sedikit. Melansir dari laporan data PBB tahun 2014, dinyatakan bahwa “sekitar 700 juta perempuan yang hidup saat itu menikah ketika mereka masih anak-anak, dimana satu dari tiga diantaranya menikah pada usia 15 tahun”.

Kasus ini menunjukkan bahwa lebih banyak wanita yang menikah dibawah umur. Hal ini diperkuat oleh sebuah data, mengutip dari survei kesehatan dan demografi di Indonesia tahun 2012, “seperenam anak perempuan sudah menikah sebelum usia mereka mencapai dewasa (usia 18 tahun) atau sekitar 340.000 anak perempuan setiap tahunnya menikah”.

Data ini membuktikan bahwa perempuan masih belum lepas dari kekangan dan anggapan bahwa mereka hanyalah pelengkap rumah tangga. Anak perempuan dipaksa menikah dengan beberapa alasan salah satunya diakibatkan karena keterbatasan ekonomi di lingkungan tersebut. Masih banyak pandangan para orang tua dan masyarakat di Indonesia yang memandang rendah perempuan bahwa tidak seperti laki-laki, tugas mereka hanyalah di dapur dan tidak perlu berpendidikan tinggi.

Lalu apakah mereka masih bisa melanjutkan mimpi mereka setelah dipaksa melakukan hal tersebut? Jawabannya tentu tidak. Setelah menikah, mereka harus mengurus semua keperluan rumah tangga. Semua potensi yang dimiliki mereka harus ikut terkubur bersama mimpinya.

Lalu, mengapa kesetaraan gender di dalam era yang modern seperti sekarang ini semakin menurun dan masih menjadi fokus utama yang diperjuangkan berbagai pihak, khususnya kaum perempuan? Hal ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal. Seperti sebuah peribahasa “tidak mungkin ada asap jika tidak ada api” yang dimana perlawanan perempuan untuk memperjuangan kesetaraan gender ini dipicu dari berbagai macam stigma masyarakat tentang perempuan.

Sejak dulu, perempuan tidak mendapatkan kesetaraan dalam dunia pendidikan. Pada, akhirnya perempuan tidak memiliki pengetahuan yang cukup jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal inilah yang membuat mereka dipandang sebagai makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Perempuan selalu dituntut untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci, memasak dan lain-lainnya. Dalam rumah tangga mereka dituntut untuk bisa  mengurus anak, membereskan rumah, memasak, mengatur rumah tangga dan menjadi sebuah pilar dalam rumah tangga.

Hingga akhirnya mereka lupa akan potensi dan mimpinya. Ketidakmungkinan mereka untuk mewujudkannya berakhir pada terkuburnya harapan dan cita-cita yang ada. Perempuan sering kali dianggap lemah, tidak berdaya dan selalu diremehkan kemampuannya. Di kalangan masyarakat, bahkan masih ada pendapat yang menyatakan bahwa perempuan adalah pelengkap dalam rumah tangga dan sering kali mereka dilupakan pengabdiannya. Sejak mereka kecil, mereka tidak bebas seperti anak laki-laki yang menikmati masa kecil yang indah.

Para perempuan tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan yang ada. Pemikiran para perempuan sudah terbuka seiring brekembangnya zaman, mereka bukanlah perempuan yang lemah seperti dulu. Sekarang para perempuan mulai memberontak dan meminta keadilan untuk mereka.

Banyak aksi yang mengatasnamakan kesetaraan gender. Aksi-aksi ini meminta kesetaraan mulai dari pendidikan hingga pekerjaan bagi para wanita. Seperti yang terjadi di Jakarta pada akhir bulan mei 2023, para wanita turun ke jalan untuk menuntut 9 isu yang bertujuan untuk melawan diskriminasi gender yang terjadi atas keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Mereka mengambil tema “Sudahi Bungkam, Lawan!” dalam unjuk rasa yang dilakukan.

Banyaknya kasus yang terjadi di negara lain menandakan gentingnya isu ini untuk disuarakan. Seperti yang terjadi di Islandia, mengutip dari CNN, terdapat aksi unjuk rasa berupa mogok kerja. Dan di 2023 ini, telah terhitung ke 7 kalinya aksi unjuk rasa berupa mogok kerja yang dilakukan.

Hal ini dilakukan oleh mereka dikarenakan terdapat diskriminasi gender yang sangat terasa oleh para pekerja wanita di Islandia, khususnya dalam hal pembagian upah dimana pembagian terhadap kaum pria lebih besar dibandingkan kaum wanita. Ini dinilai sangat penting, bahkan gerakan ini didukung langsung oleh Perdana Menteri Islandia, dan asosiasi-asosiasi lain yang bergerak di berbagai bidang.

Jadi, hal-hal tersebutlah yang seharusnya tetap menjadi perhatian kita semua, terlebih lagi di zaman modern dimana siapa saja bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Jangan jadikan gender sebagai penghalang untuk kita bergerak maju ke depan. Karena jika bukan kita sendiri yang memulai, lantas darimana lagi kita harus memantik api-api perlawanan seperti ini? (*)

Penulis : Fatima Bella Mahardika
Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.

Berita Terkait