Oleh: Ahmad Subhan Aktivis Sosial, Pekerja Sosial, Ketua Pandeglang Care Movement, Dosen STIA Banten
Desa sejahtera itu seharusnya desa yang bisa memenuhi akan sarana dan prasarana dasar untuk kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya, mendapat layanan akses kesehatan dasar, masyarakat ingin punya jalan dan jembatan yang bagus atau ingin memiliki saluran irigasi yang bisa mengairi sawah sepanjang tahun, itu semua bisa disediakan dan dikelola desa sendiri. Desa harus dapat menjadi salah satu kunci kekuatan ekonomi dan sumber kesejahteraan bagi warganya.
Sudah keharusan pokok-pokok pikiran tentang desa sebagai kunci kekuatan ekonomi dan kesejahteraan tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK, khususnya Nawacita ketiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa”. Salah satu agenda besarnya adalah mengawal implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Secara Sistematis, Konsisten dan Berkelanjutan dengan Fasilitasi, Supervisi dan Pendampingan untuk Wewujudkan Desa yang Mandiri dan Inovatif.
Untuk mengawal perubahan sosial dan kemandirian desa dalam mengelola potensi dan sumber daya desa, pemerintah pusat telah menjalankan pelaksanaan UU Desa di tahun 2015 ini.
Baca juga: Refleksi Hari Anak Nasional, Berikan 10 Hak Dasar Ini Pada Anak Anda
Desa telah diberlakukan berbeda dari sebelumnya. Kedudukan desa tidak lagi bersifat subnasional, melainkan berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. Desa juga tidak lagi berada di bawah struktur administratif terbawah apalagi perpanjangan tangan dari pemerintah daerah.
Desa juga telah mendapat rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas kewenangan yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa (azas, pasal 3).
Sesuai dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, desa-desa akan mendapatkan dana kurang lebih Rp1 hingga Rp1.4 milyar per tahun, tetapi itu dilakukan secara bertahap, dana ini diberikan berdasarkan empat kriteria,
(1) berdasarkan jumlah penduduk,
(2). Luas wilayah,
(3), tingkat kemiskinan,
(4). Kesulitan letak geografis.
Dana tersebut diberikan melalui APBN ke rekening pemerintah kabupaten/kota, selanjutnya pemerintah kabupaten mentransfer ke rekening desa. Dana yang bersumber dari APBN ini disebut dengan Dana Desa (DD).
Kemudian Pemerintah Kabupaten juga mengalokasikan anggaran untuk desa yang bersumber dari APBD. Dana dari APBD ini disebut dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Dana Desa dan Alokasi Dana Desa diberikan untuk memenuhi kebutuhan belanja dalam skop dua kewenangan yakni hak asal usul dan mengurus desanya sendiri.
Baca juga: Keterpurukan Pariwisata Banten, Covid-19 Adalah Puncak Cobaan
Enam tahun sudah berjalan pelaksanaan UU desa ini, Presiden RI telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2015 hingga 2019.
Menurut Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2020 yang dirilis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menetapkan 127 desa di Kabupaten Pandeglang berstatus tertinggal. Bahkan empat desa diantaranya, masuk kategori sangat tertinggal. Pertimbangan daerah tertinggal ini mengacu pada Pasal 6 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2014 tentang percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Status daerah tertinggal mengartikan bahwa wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dengan kriteria 1:
a; perekonomian masyarakat,
b; Sumber daya manusia,
c: sarana dan prasarana,
d: kemampuan keuangan daerah,
e: aksebilitas,
f: karakteristik daerah/ geografis.
Bagi penulis, penetapan Kabupaten Pandeglang sebagai salah satu daerah tertinggal bukanlah sebuah ancaman. Kita harus mengakui bahwa Pandeglang memang sudah lama di stigmatisasi (dicap) sebagai daerah yang tertinggal, baik dari ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
Stigmatisasi inilah yang dimaksud dengan daerah yang terekslusi. Meski demikian, saya dan anda semua yang menyatakan dirinya sebagai orang Pandeglang, jadikan moment ini sebagai peluang besar untuk kita bersama-sama bangkit dari kesombongan atas kekayaan sumber daya alam yang belum dikelola dengan baik tanpa harus menggadaikan martabat sebagai pemilik hak yang sah atas kekayaan sumber daya alam. Komitmen untuk keluar dari ketertinggalan maupun keterbelakangan kita mulai dari desa! Bagaimana caranya?
Baca juga: Pembebasan Biaya Pendidikan, Sesuai Harapan Kah?
Dengan memanfaatkan Undang-Undang Desa yang telah memberikan kesempatan bagi desa untuk menjalankan dan mengatur pembangunannya sendiri. Kewenangan ini diberikan karena masyarakat desa lah yang lebih tahu apa saja yang dibutuhkan untuk lebih maju. Jadi, perencanaan desa harus dilakukan melalui musyawarah desa yang melibatkan semua unsur masyarakat, perangkat desa dan BPD, tujuannya agar program yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik untuk peningkatan kualitas layanan dasar, sarana prasarana dasar, ekonomi desa dan pemberdayaan masyarakat desa (Prioritas program, Pasal 80 ayat 4. UU Desa).
Semuanya harus kita analis dengan baik melalui pengumpulan data yang akurat, sehingga data ini menjadi baseline data (Data awal) desa yang akan dibungkus menjadi rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM-Des) yang memuat Rencana kegiatan Pemerintah (RKP) dan penggunaan dari dana yang masuk ke rekening desa selama enam tahun kedepan.
Proses pengumpulan data ini menjadi hal yang sangat penting, dan tidak bisa dibuat begitu saja atau dengan sesuka hati pemerintah desa. Akan tetapi harus melibatkan masyarakat desa dalam pengumpulan data menjadi sangat penting karena data tersebut menjadi bahan analisis yang mumpuni untuk mengidentifikasi, analisis, perencanaan dan implementasi program.
Data dapat menggambarkan kondisi riil desa. Kelemahan dalam perencanaan program desa berada pada tahap pengumpulan data. Seperti data potensi desa, data jumlah penduduk yang kurang mampu, data luas wilayah, data tata ruang micro desa, dan lain-lain.
Jika data tidak akurat, maka hasil analisis dan rencana program desa pun dipastikan tidak akan menjawab persoalan-persoalan desa itu sendiri. Pengumpulan data yang efektif dan efesien Pemerintah desa bisa menggunakan pendekatan Pemetaan Partisipatif yang meilbatkan warga.
Pemerintah desa secara periodik/ setiap tahunnya harus melakukan musyawarah desa untuk mempertajam rencana kerja dan menyepakati anggaran dana desa tahunan. Tujuannya agar masyarakat desa mengetahui dan memastikan program desa dapat dilaksanakan dan diawasi. Termasuk setiap ada permasalahan atau yang menyangkut kebijakan untuk kepentingan masyarakat desa harus dimusyawarahkan bersama.
Masyarakat dan organisasi masyarakat desa harus “kritis” mengawasi program desa bersama BPD apalagi menyangkut dengan laporan keuangan desa. Masyarakat yang kritis bukan berarti mereka “benci” pada kepala desa, tapi karena mandat telah diberikan sepenuhnya oleh masyarakat desa sehingga mandat dan kepercayaan yang diberikan untuk mengelola anggaran dana desa yang nilainya 1 hingga 1.4 milyar per tahun benar-benar dimanfaatkan untuk bisa keluar dari masalah seperti kemiskinan, jalan dan jembatan yang rusak dan masalah lainnya.
Baca juga: Program FMSRB dan Harapan Sektor Pertanian Banten di Masa Depan
Kontrol dari warga dan BPD juga harus dipastikan agar jangan sampai ada penyimpangan penggunaan dana desa, karena dana desa ini akan di audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebab Kepala desa sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dana desa harus diperuntukkan untuk program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa serta dikelola dengan asas transparan untuk dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan membuka kunci / mengundang warga yang selama ini mungkin di cap sebagai warga yang terlalu kritis, sok tahu, terlalu mencampuri urusan kepala desa, tidak mau diajak rapat, dianggap terbelakang, dianggap tak mampu, dan stigma lainnya, sesungguhnya mereka inilah yang tereksklusi secara sosial yang perlu dibangun potensinya.
Ketika pemerintahan desa mempersilahkan “mereka yang terekslusi masuk” sesungguhnya desa telah membangun relasi baru untuk memberikan perubahan sosial serta mengakui hak-hak formal warganya (Inklusi Sosial).
Inklusi sosial pada awalnya mungkin agak mengganggu pikiran dan kerja-kerja desa, namun pada akhirnya akan berkontribusi pada stabilitas sosial, kohesi dan solidaritas dalam program pembangunan jangka panjang pemerintah desa.
Terakhir penulis mengucapkan selamat kepada Kepala Desa di Kabupaten Pandeglang yang akan memimpin pembaharuan selama enam tahun kedepan semoga, mata, telinga, mulut menjadi corong kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya dan di impelementasikan bukan sekedar retorika.
(Tulisan ini dibuat sepenuhnya dibuat oleh penulis. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.)