BINGAR.ID – Masyarakat Indonesia telah lama mengkonsumsi nasi beras sebagai makanan pokok. Bahkan ada anekdot bahwa “belum dianggap makan jika belum makan nasi (beras).” Ketergantungan terhadap beras ini kemudian menimbulkan berbagai persoalan, dari terpinggirkannya pangan lokal hingga polemik mengenai impor beras.
Sejarawan gastronomi Fadly Rahman dalam Dialog Sejarah “Keberagaman Pangan di Nusantara: Menggali Akar Silam Citarasa Indonesia,” menyebut bahwa akar ketergantungan terhadap beras bisa dilacak sejak zaman Kerajaan Mataram. Kala itu, beras menjadi salah satu simbol keberhasilan raja dalam memimpin.
“Kewibawaan seorang raja, seorang penguasa, itu ditentukan dari keberhasilan penguasa dalam memakmurkan kebutuhan pangan rakyat yang notabene itu adalah beras,” kata Fadly seperti yang dikutip dari Historia, Minggu (28/3/2021).
Baca juga: Pemerintah Klaim Impor Beras untuk Intervensi Harga
Pada masa kolonial, Fadly menyebut bahwa VOC juga berkontribusi pada hegemoni beras ini. Ketika VOC memonopoli perdagangan di Nusantara, beras menjadi salah satu komoditas yang dikirim ke berbagai pulau di luar Jawa.
George berhard Rumphius, botanis Jerman yang bekerja untuk VOC di Maluku, mencatat bagaimana perniagaan beras sampai ke kepualauan tersebut. Bahkan, jelas Fadly, Rumphius juga mencatat bahwa masyarakat Maluku menganggap beras sebagai bahan makanan yang sangat prestisius. Padahal, Maluku telah memiliki sagu, ubi rambat, dan talas yang menjadi makanan pokok sejak lama.
Sangat ekspansifnya beras mengakibatkan beragam pangan lokal semakin diabaikan. VOC sebenarnya hanya terobsesi pada rempah-rempah. Hal ini membuat banyak lahan pangan pribumi semakin hilang karena mereka dipaksa membudidayakan rempah-rempah yang belakangan dilanjutkan komoditas kopi dan teh.
“Dari mulai kebijakan-kebijakan mulai dari Preanger Stelsel, kemudian Cultuur Stelsel, sampai kebijakan ekonomi agraria tahun 1870 itu, menunjukan bahwa diversifikasi pangan kita yang sangat melimpah jenisnya, itu terpinggirkan,” ungkap Fadly.
Baca juga: Geser Sumbar, Banten Masuk Sembilan Besar Produsen Beras Nasional
Hilangnya ragam pangan dari meja makan tentu mempengaruhi gizi masyarakat saat itu. Pada akhir abad ke-19, mulai banyak dilakukan penelitian gizi di Hindia Belanda untuk mengubah cara pandang dan selera orang Indonesia terhadap makanan pokok.
Penelitian ini berlanjut hingga pasca-Kemerdekaan. Salah satu hasil dari penelitian ini ialah munculnya program 4 Sehat 5 Sempurna pada 1950-an. Program ini, jelas Fadly, sebenarnya mengadopsi pola edukasi gizi yang dilakukan pada masa kolonial.
Sementara pada masa Orde Baru, kebijakan politik beras yang dijalankan Mataram di masa lalu kembali diadopsi. Swasembada beras pada pertengahan 1980-an menjadi salah satu program unggulan dan dianggap sebagai salah satu keberhasilan pemerintahan Soeharto.
Fadly menyebut bahwa persoalan ketergantungan beras hari ini tak terlepas dari sejarahnya dan meliputi berbagai aspek yang kompleks.
“Ini yang menjadi sangat jelas ya bahwa persoalan mata rantai pangan itu memiliki hubungan yang sinergis antara hulu ke hilir. Dari mulai budidaya pertanian sampai ke urusan gizi ketika makanan itu siap kita asup,” ujarnya.
Baca juga: Bukan Impor, Ini yang Buat Harga Gabah Turun Versi Ombudsman
Indonesia sebenarnya masih memiliki banyak potensi pangan lokal. Dari sagu yang banyak tumbuh di Indonesia timur hingga palawija yang tersebar di berbagai daerah. Dari umbi-umbian umum seperti singkong dan ubi, hingga buah berkarbohidrat seperti sukun dan labu kuning.
Dosen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Slamet Riyadi Yannie Asrie Widanti menyebut bahwa sebenarnya beragam pangan lokal Indonesia bukan hanya memiliki sumber karbohidrat sebagai pengganti beras, melainkan juga kaya serat dan senyawa penting. Dalam ubi ungu, misalnya, terdapat pigmen alami yang mengandung antosianin sebagai antioksidan. Senyawa ini juga berfungsi sebagai anti-kanker dan anti-inflamasi (anti peradangan dan nyeri).
Yannie menyebut, banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan potensi pangan alternatif. Singkong dan jagung, misalnya, kini dapat diolah menjadi beras analog yang menyerupai beras asli. Ada pula bahan pokok lokal yang diolah menjadi produk modifikasi tepung yang bisa menggantikan terigu.
Meski demikian, produk-produk tersebut masih belum populer dan baru dikonsumsi kalangan tertentu. Permintaan dan produksi yang terbatas membuat produk-produk tersebut menjadi lebih mahal
Menurut Yannie, kebiasaan ketergatungan beras dan stigma minor terhadap pangan lokal perlu diubah. Pemerintah juga perlu mengembangkan pangan lokal dalam skala nasional.
“Sepertinya yang umbi-umbian itu terabaikan selama ini. Gembili dan sebagainya, nggak ada kan gerakan untuk menanam, membudidayakan, dan menghasilkan lebih begitu?” kata Yannie.
Baca juga: Beras Impor Tahun 2018 Masih Tersisa 381 Ribu Ton
Yannie menyayangkan industri pangan juga seringkali mengikuti tren luar negeri. Tren kuliner yang kini berkembang menurutnya cenderung minim gizi. Dalam sekotak nasi ayam goreng tepung, misalnya, mengandung terlalu banyak karbohidrat, baik dari nasi muapun tepungnya. Sementara gizi yang dibutuhkan seperti terkandung dalam sayuran masih jarang ditemui. Selain memunculkan masalah kesehatan, hal ini juga setali tiga uang dengan urusan ketahanan pangan.
“Padahal kalau kita hanya mengikuti tren dan tidak berusaha menciptakan tren dengan bahan pangan lokal kita itu, ya kita nanti akhirnya akan bergantung dengan produk-produk impor,” jelasnya. (Ahmad/Red)