PANDEGLANG, BINGAR.ID – Tak banyak yang tahu kalau sejak era penjajahan, kopi yang ditanam di sekitaran Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang sudah jadi incaran. Komoditi perkebunan ini dianggap primadona karena harga jualnya bersaing dengan lada atau merica yang saat itu juga menjadi komoditi favorit dalam perdagangan global.
Bahkan saking berharganya, pemerintah Belanda melalui VOC, membangun berbagai infrastruktur terkait kopi di Pandeglang. Sayang, infrastruktur ini banyak yang sudah malih rupa sehingga tak dikenali lagi jejaknya.
Dikutip dari analisa arsip perkebunan kopi di wilayah Pandeglang era kolonialisme, jauh sebelum abad ke-19. Sistem perkebunan telah diberlakukan di wilayah Pandeglang dengan sistem kongsi dagang dengan Gabungan Perseroan Dagang Hindia Timur atau lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
BACA JUGA : Puluhan Peserta Ikuti Workshop Barista Balad Mustafa dan Porwan
Dalam sistem itu, diberlakukan sistem penanaman wajib komoditas perdagangan, diantaranya beras, cengkih, gala, lada nila, benang, kopi, dan gula (tebu). Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam arsip Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie.
Keberadaan perkebunan kopi di era VOC diperpanjang lagi ketika masa pendudukan Hindia Belanda melalui sistem tanam paksa. Kopi menjadi salah satu komoditas unggulan karena sangat digemari oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia sehingga bisa menambah pundi-pundi pemerintah kolonialisme.
Hal tersebut tergambarkan dengan jelas dalam Arsip De Haan No B 22 (40), Bantam Archiver Cultures 1816-1920 dan Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie.
BACA JUGA : Balad Mustafa dan Porwan Pandeglang Akan Gelar Workshop Barista Gratis
Di dalam arsip itu diketahui bahwa Belanda membangun sejumlah infrastruktur untuk mendukung perkebunan kopi di Pandeglang. Diantaranya Kedai Kopi (Koffij Lootsen kemungkinan berada di Gedung DPRD Kabupaten Pandeglang, mengingat posisinya berada persis didepan Gedung Kodim 0601 Pandeglang yang merupakan rumah inspektur.
Selain itu, ada pula Gudang Kopi (Koffij Pakhuizen) kemungkinan kini Rumah Tahanan (Rutan Pandeglang) karena di arsip itu ditulis lokasinya di pinggir kedai kopi (kini DPRD Pandeglang). Selain itu, Rutan juga menjadi satu-satunya bangunan tua di pinggir kedai kopi.
BACA JUGA : Kolaborasi Majukan Komunitas Petani Kopi, Bank bjb Gelar Literasi Keuangan
Karena bangunan tersebut merupakan cagar budaya. Selain itu ada pula bangunan-bangunan lain yang diperuntukkan bagi para prajurit yang bertugas menjaga gudang dan kedai kopi diantaranya Ruang Pengawas di Benteng (Kommandant Sroning in Het Fort). Lokasi tepatnya tidak teridentifikasi.
Namun diduga bangunan benteng atau fort ini berada di Kampung Gardutanjak tepatnya di area seputaran antara kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, cafe cafe, Grha Pancasila, hingga ke area belakangnya yang kini adalah bangunan sekolah dasar.
Di area itu selain benteng juga ada gedung rempah (Kruidonaguzijn in io), barak prajurit atau Karzerne in Het Fort serta satu rumah besar yang diperuntukkan untuk dapur dan kamar mandi. Saat ini lokasi tersebut menjadi perumahan keluarga purnawirawan TNI tepat di pinggir SDN 4 Pandeglang.
BACA JUGA : Secangkir Kopi Sebelum Olahraga Efektif Turunkan Berat Badan
Arsip tersebut membuktikan bahwa produk perkebunan kopi di Pandeglang termasuk salah satu yang menjadi andalan bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh keuntungan besar.
Itu tak mengherankan karena kata Ketua Panitia acara Workshop Barista Siap Kerja 2023 Gatot Saputro, citarasa kopi Pandeglang khususnya dari gunung karang sangatlah unik.
“Begitu disesap, selain aromanya yang wangi, kopi Gunung Karang itu memiliki aneka rasa lain selain rasa pahit, jadi meminum kopi tersebut seperti bertualang rasa karena ada rasa creamy, sedikit asam yang menyertai rasa asli kopi tersebut.Oleh karena itu, kopi Gunung Karang banyak diminati oleh orang dan harganya juga tinggi,“ katanya yang ditemui di Cafe Lembur Kula, Desa Pasir Peteuy, Kecamatan Cadasari.
Ia kemudian menerangkan bahwa pemanfaatan kopi oleh pemerintah kolonial Belanda masih memiliki sedikit jejak di masyarakat kekinian di Pandeglang. Di mana ada salah satu varian kopi yang unik khas Gunung Karang yaitu Kopi Leupeh Lalay.
“Kopi leupeh lalay ini sebenarnya adalah kopi robusta yang bijinya berukuran kecil dan dipetik dari pohon-pohon kopi berusia ratusan tahun yang masih ada di area Citaman Lawang Taji Gunung Karang yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kopi menir. Menir adalah istilah lokal untuk menyebut seorang tuan atau lelaki Belanda” terangnya.
Ia kemudian melanjutkan citarasa kopi tersebut menjadi makin lezat karena biji kopinya yang sudah matang dan berwarna merah tidak dipanen oleh tangan manusia. Melainkan dipanen secara alami oleh kelelawar kelelawar yang hidup di area Citaman Lawang Taji.
Setelah memakan daging buah kopi yang berwarna merah atau biasa disebut ceri, kelelawar atau dalam bahasa Sunda disebut Lalay kemudian meludahkan atau mengeluarkan biji kopi tersebut dari mulutnya. Tingkah laku ini dalam bahasa Sunda disebut sebagai melepeh. Lantaran hal itu kopi unik itu disebut sebagai kopi lepeh lalay.
Merujuk dari keunikan potensi kopi tersebut, maka sudah seharusnya anak-anak muda mengambil bagian dalam budaya pelestarian kopi serta budaya minum kopi. Itulah alasan pihaknya untuk melatih puluhan anak muda dari seluruh kecamatan di Pandeglang menjadi seorang peracik kopi atau barista.
Menggandeng Pokja Wartawan Pandeglang atau Porwan, workshop barista ini menyediakan sertifikat dari Asosiasi Kopi Indonesi (ASKI). Selai itu juga memberikan alat penyeduh kopi yang diberi nama alat V Sixty secara gratis.
Bila sudah mengetahui cara meracik kopi diharapkan kelak para peserta bisa makin memaksimalkan cita rasa kopi Gunung Karang yang lezat tersebut dan menjadi bekal untuk memasuki dunia kerja atau menjadi wirausahawan kopi.
Bahkan bila diketahui berbakat dalam meracik kopi, para calon barista itu akan disalurkan untuk bisa bekerja di cafe-cafe yang bermitra dengan Balad Mustafa.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Pandeglang, Raden Goenara Daradjat, memberikan apresiasi terhadap kegiatan yang dianggapnya sangat bermanfaat. Baginya, kegiatan ini tidak hanya sekadar seremonial, melainkan aksi nyata dari para penggiat kopi di Pandeglang yang berupaya membuat budaya kopi di Pandeglang kembali memasuki jaman keemasannya yang kedua. (Chandra Dewi)