PANDEGLANG, BINGAR.ID – Pandeglang yang memiliki dua gunung berapi membuat daerah ini kaya akan sumber air panas. Salah satunya adalah sumber air panas Cisolong yang terletak di Desa Sukamanah, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang yang sudah menjadi objek wisata sejak era penjajahan Belanda.
Bahkan, gara-gara ada objek wisata ini, Belanda membangun stasiun mini di desa tersebut agar turis bisa dengan mudah menjangkau sumber air panas tersebut. Stasiun mini atau stopplaats itu adalah Stopplaats Cimenyan yang kini hanya tersisa puing-puingnya saja.
Baca juga: Stopplaast Cikaduen, Stasiun Kereta Api Mini Sahabat Penziarah
Tiba di lokasi menjelang sore, Bingar.id mulanya kebingungan untuk menentukan mana bangunan stoplaats yang dimaksud lantaran bentuk bangunan sebagian besar sudah berubah. Tak ada lagi tulisan nama stopplaats. Hanya tersisa satu besi bekas rel yang memanjang ke arah Kadu Kacang di kecamatan tetangga yaitu Kecamatan Cimanuk.
Titik terang baru kami temui ketika bertanya pada seorang warga berusia lanjut bernama Mak Ram’ah. Dia kemudian menunjukkan bangunan berdinding bilik bambu yang bagian depannya sudah menjadi warung jajanan dan terletak di RT 001 RW 002 tak jauh dari gapura masuk ke kampung.
“Eta la urut stasiunna (itu bekas stasiunnya)” ujar Mak Ram’ah dalam Bahasa Sunda.
Mak Ram’ah mengatakan, dirinya bukan warga asli kampung tersebut. Ia menjadi warga lantaran ikut ke kampung suaminya setelah menikah. Semula ia warga Jalupang, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak. Ia mengaku tiba di kampung tersebut menggunakan kereta api karena saat ia menikah, angkutan umum tidak ada. Orang-orang kaya biasanya bepergian menggunakan sado alias delman. Sedangkan rakyat jelata berjalan kaki.
Kondisi berubah saat Belanda membangun rel kereta api. Rakyat jelata sudah bisa mengakses kereta api kendati harus mengeluarkan uang yang sangat banyak dan gerbongnya dipisahkan dari orang Belanda atau kalangan bangsawan yang disebut menak.
“Ongkosnya dari kampung saya di Jalupang sampai kesini totalnya 3 ketip 5 sen. Soalnya dari Jalupang enggak ada yang langsung ke sini. Harus turun di Saketi terus naik lagi kereta jurusan Labuan-Rangkasbitung dan turun disini,” terang Ram’ah masih dalam Bahasa Sunda.
Baca juga: Kisah Kereta Api Pengangkut Ikan Asin Dari Labuan
Mendengar nilai mata uangnya, kami tergelitik mencari tahu berapa nilai mata uang ketip dan sen agar terbayang berapa biaya yang harus dikeluarkan Mak Ram’ah. Dikutip dari wikipedia, nilai mata uang ketip dan sen mulai berlaku sejak 1854 hingga 1922.
Satu ketip atau seketip setara dengan 5 sen atau seperduapuluh gulden. Konon katanya di era itu, bila memiliki uang seketip, sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup satu orang selama sehari. Maka bisa dibayangkan betapa mahalnya ongkos kereta Mak Ram’ah.
“Atuh iya makanya, rakyat kayak saya mah tetep aja jarang naik kereta. Tetap aja jalan kaki. Kereta kebanyakan dipakai mengangkut hasil perkebunan atau orang Menak dan Belanda yang mau ke Cisolong,” katanya.
Pernyataan Ram’ah senada dengan jurnal karya Iwan Hermawan dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung. Dalam karyanya tersebut, ia memaparkan alasan utama membangun Stopplaats Cimenyan adalah agar para turis bisa lebih mudah menjangkau sumber air panas Cisolong. Sama seperti sumber air panas lainnya, sumber air panas Cisolong dipercaya bisa menyembuhkan aneka penyakit kulit sehingga banyak orang ingin kesana.
Dipaparkan Iwan, stopplaats adalah stasiun mini kereta api yang pelayanannya hanya meliputi naik turun penumpang dan barang secara terbatas. Stopplaats dibangun diantara dua halte dan fungsinya mengakomodir penumpang yang domisilinya jauh dari halte. Khusus Stopplaats Cimenyan, dibangun untuk mengakomodir para turis yang hendak berwisata ke Cisolong dan warga dari sekitar wilayah tersebut.
Baca juga: Hilangnya Kerajaan Salakanagara Akibat Letusan Dahsyat Gunung Krakatau dan Karang Secara Bersamaan
Selain untuk mengangkut turis, kereta juga dipakai mengangkut hasil perkebunan Belanda yang terletak di sekitar Cimenyan diantaranya dari Cikuya dan Gunung Putri dari Kecamatan Banjar yang lokasinya dekat dengan area itu.
Untuk gambaran, bentuk Stopplaats Cimenyan sama dengan sembilan stopplaats lainnya di sepanjang jalur kereta api Rangkasbitung–Labuan. Berbentuk persegi berukuran 5 x 4 meter. Bagian dalam bangunan dibagi dua yaitu untuk penjualan tiket dan tempat istirahat petugas dan yang sebelah lagi ruang tunggu penumpang yang dilengkapi papan yang dipasang menempel di dinding. Papan itu berfungsi sebagai tempat duduk penumpang.
Namun semua itu kini sudah tak bisa ditemukan karena eks bangunan stopplaats dipakai sebagai warung oleh warga setempat. Hanya tersisa sebatang besi rel yang memanjang dan dijadikan jalan oleh penduduk sekitar yang hendak menuju Desa Kadu Kacang di Kecamatan Cimanuk.
Sebagai informasi, di sepanjang jalur Rangkasbitung–Labuan ada 10 stopplaats yaitu Stopplaats Rumbut, Cibuah, Pasir Tangkil, Cibiuk, Cimenyan, Sekong, Cikadueun, Kananga, Babakan Kidul dan Kalumpang di Kecamatan Labuan. (Chandra Dewi)