BANTEN, BINGAR.ID – Vihara Avalokitesvara terletak di Kampung Pamarican, Kota Serang, Provinsi Banten. Avalokitesvara merupakan bahasa Sanskerta untuk Dewi Kwan Im yang diyakini suka menolong manusia dari berbagai kesulitan. Lokasi wihara itu sekitar 500 meter di sebelah utara Masjid Agung Banten dan Keraton Surosowan di Kawasan Banten Lama.
Wihara itu dibangun tahun 1652 pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1651–1683). Awalnya wihara itu dibangun di Kampung Dermayon, Kabupaten Serang, sekitar 500 meter di selatan Masjid Agung Banten.
Baca juga: Mengenal Tujuh Sosok Pahlawan asal Banten
Menurut sejarawan Prancis, Claude Guillot dalam Banten, Sejarah dan Peradaban X–XII, kita hanya memiliki sumber tak jelas mengenai tempat-tempat ibadah orang Tionghoa. Padahal, Banten terkenal karena adanya kelenteng yang dijadikan Vihara Avalokitesvara. Jika sudah ada pada abad ke-17, pasti kelenteng ini disebut-sebut dengan jelas dalam sumber.
Sumber asing yang cukup meyakinkan menyebut tentang kelenteng adalah catatan J.P. Cortemunde yang menghadap Sultan Ageng Tirtayasa pada 1673. Dokter bedah asal Denmark itu menyebut “di Banten mereka memiliki kelenteng yang sangat megah, dengan gambar-gambar setan dari emas atau perak yang memiliki hiasan sangat indah tetapi sangat menakutkan… Mereka biasa mengizinkan para pemeluk agama Nasrani masuk dan melihat seluruhnya”.
Baca juga: Hari Jadi Pandeglang Dalam Kajian Data dan Sejarah
“Jadi hanya catatan ini yang menyatakan bahwa orang Tionghoa memiliki beberapa kelenteng di Banten tahun 1673,” tulis Guillot.
Sementara itu, terkait Vihara Avalokitesvara, sepasang sejarawan Prancis, Denys Lombard dan Claudine Salmon menyebutkan dalam penelitian mengenai masyarakat dan inskripsi Tionghoa di Banten, bahwa batu bertulis yang tertua di kelenteng itu dibuat tahun 1754. Sedangkan catatan pertama yang menyebutkan tentang kelenteng itu berasal dari tahun 1747, dan sumbernya berupa sebuah akta notaris yang menjelaskan adanya sebuah lahan di sebelah barat “Chineese Tempel”.
Ritual Mengusir Wabah
Vihara Avalokitesvara awalnya bernama Bantek Ie yang artinya “sejuta kebajikan”. Wihara itu dipindahkan dari Kampung Dermayon ke Kampung Pamarican sekitar tahun 1774. Bangunan ini pertama kali dipugar pada 1932.
Menurut buku Pemetaan Kerukunan Umat Beragama di Banten terbitan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Kementerian Agama, pada 1774, Sultan Banten (Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin, 1773–1799) menghadiahkan sebidang tanah, yang sekarang berdiri bangunan Vihara Avalokitesvara, atas jasa orang Tionghoa yang ikut melakukan ritual keagamaan saat terjadi wabah penyakit yang menyerang penduduk Banten. Wihara itu sampai sekarang berada di lingkungan permukiman penduduk yang beragama Islam.
Baca juga: Melacak Rajatapura, Ibukota Salakanagara yang Hilang
Jenis penyakitnya tidak diketahui pasti. Namun, kemungkinan wabah sakit perut jika merujuk kepada wabah penyakit yang menyerang Cirebon pada 1772–1773 (dan 1805–1806) yang mengakibatkan seperempat penduduknya meninggal dunia. Sebelumnya, pada 1625, wabah penyakit pes membunuh sepertiga penduduk Banten.
Adapun ritual yang dilakukan orang Tionghoa itu adalah mengarak Patung Dewi Kwan Im. Asaji Manggala Putra, humas Vihara Avalokitesvara, menjelaskan pada saat itu terjadi wabah penyakit di Banten yang sangat serius. Banyak penduduk yang meninggal dunia. Sultan meminta agar Patung Dewi Kwan Im diarak keliling kampung.
“Ternyata setelah itu dilakukan berhasil dan wabah penyakit itu hilang. Penduduk di Banten pun bisa kembali melakukan aktivitas dan kegiatan mereka, dan dari situlah, tradisi mengarak Patung Dewi Kwan Im atau biasa disebut Gotong Petekong bermula. Namun, kini sudah tidak lagi dilakukan karena ada sesuatu hal,” kata Asaji. (Red)