Kerugian Negara Akibat Korupsi Selama 2020 Mencapai Rp39.2 Triliun

Korupsi

Ilustrasi praktik korupsi (Freepik)

JAKARTA, BINGAR.ID – Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat jumlah kerugian negara akibat korupsi selama semester I tahun 2020 mencapai Rp39,2 triliun.

Jumlah itu terhitung sangat besar jika dibandingkan dengan total denda yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa yang hanya berkisar Rp102.985.000.000, serta uang pengganti sebesar Rp625.080.425.649, US$128.200.000 dan SGD2.364.315. Atau sekitar Rp2,3 triliun.

“Praktis kurang dari lima persen kerugian negara yang mampu dipulihkan melalui instrumen Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Minggu (11/10/2020).

Kurnia menuturkan disparitas dari segi pemulihan kerugian keuangan negara ini tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Pada semester I tahun 2019, kata dia, total kerugian negara akibat praktik korupsi sebesar Rp2,132 triliun, sedangkan pengenaan uang pengganti hanya sekitar Rp183 miliar.

“Hal ini menunjukkan bahwa majelis hakim belum memaknai bahwa kejahatan korupsi juga mencakup sebagai financial crime, yang mana penjatuhan hukuman pun mesti juga berorientasi pada nilai ekonomi,” tuturnya.

Kurnia berujar pengenaan uang pengganti semestinya selalu melekat pada putusan hakim ketika menyidangkan sebuah perkara yang menggunakan Pasal terkait kerugian keuangan negara dalam dakwaan penuntut umum.

Kendati begitu, ia mafhum kendala utama dari implementasi uang pengganti adalah saat terpidana lebih memilih untuk menjalankan hukuman subsider dengan dalih aset tidak mencukupi untuk membayar hal tersebut.

“Bahkan dikhawatirkan Penuntut Umum memberikan solusi alternatif, yakni membayar uang pengganti atau menjalani masa pidana penjara pengganti,” imbuhnya.

Ia mengatakan ada beberapa metode penyelesaian guna mencegah tindakan terpidana yang kerap kali menghindari pembayaran uang pengganti. Pertama, reformulasi pengenaan hukuman subsider dengan berlandaskan jumlah uang pengganti.

Hal itu, lanjut dia, menjadi salah satu persoalan klasik yang tak kunjung terselesaikan.

“Dalam pantauan ini, ICW mencatat setidaknya terdapat 475 terdakwa yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti. Dari total tersebut, ditemukan 368 terdakwa yang dijatuhi sanksi berupa pidana penjara pengganti. Jika dirata-ratakan pidana penjara pengganti ini hanya 12 bulan penjara,” ungkap dia.

“Dalam konteks ini, salah satu isu krusialnya juga termasuk disparitas hukuman pidana penjara pengganti,” sambungnya.

Sedangkan metode kedua dengan menggunakan konsep ‘sita jaminan’ (conservatoir beslag) sebagaimana dilakukan dalam rumpun hukum perdata. Dalam konteks ini, terang dia, nantinya harta milik terdakwa telah disita sejak yang bersangkutan masih berstatus sebagai tersangka pada fase penyidikan.

Kurnia berujar penegak hukum semestinya tidak hanya menyita aset yang didapatkan dari praktik korupsi, melainkan termasuk juga harta benda lainnya.

“Sehingga saat nantinya terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti dan ia tidak dapat membayar, maka aset yang telah disita sebelumnya dapat dirampas oleh negara,” tandasnya.

Berkaca dari temuan di atas, Kurnia meminta agar setiap hakim mengedepankan perspektif uang pengganti dalam menyidangkan perkara rasuah.

“Sebab, ini berkenaan langsung pada kepentingan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak atas kejahatan korupsi,” pungkasnya. (Aditya/Red)

Berita Terkait

Berita Terbaru