Oleh : Rosidarta. Js/Wartawan Fajar Banten
“Mungkin, gelar seremoni bukanlah hal utama, atau hal yang tidak berkenan di hati, karena pesta tanpa seremoni, ibarat sayur asam tanpa garam. Dan inilah yang terjadi di Kabupaten Pandeglang saat ini, rasa suka cita maupun kegembiraan terpaksa harus dikubur dalam-dalam, akibat sebuah keprihatinan yang berdampak besar pada masyarakatnya, ditengah rasa mencekam dihatui oleh wabah penyakit mematikan bernama Corona Virus Disease Nineteen (Covid-19)”
1 April 2020 kemarin, adalah Hari Jadi Kabupaten Pandeglang ke-146 tahun yang dilaksanakan secara sederhana dan hanya sebatas potong tumpeng sebagai penanda bila pada 1 April tersebut, adalah tanggal keramat lahirnya sebuah daerah berjuluk “Kota Santri” yang memiliki selogan Bersih, Elok, Ramah, Kuat, Aman dan Hidup (BERKAH).
Kendati demikian, gelar seremoni mungkin hanyalah sebuah ajang pesta yang multitafsir penjabarannya. Karena sejatinya, dalam ajang pesta berbingkai seremoni tersebut, setidaknya kita perlu mengetahui makna harfiahnya lebih mendasar, melalui kerendahan hati dan tetap berprasangka baik, untuk turut menghayati perjalanan panjang sejarahnya. Lebih menyempatkan waktu untuk menengok kebelakang, agar hari ini kita punya pelajaran dari pengalaman, dalam menata dan memperbaiki yang belum terselesaikan.
Kini Kabupaten Pandeglang yang usianya sudah menginjak 146 tahun, kita rasa bukanlah usia yang harus berleha-leha, atau selalu ingin dimanja lagi, sebab perjalanan usia yang sudah tidak muda lagi tersebut, Pandeglang semestinya sudah mampu mandiri, berfikir dewasa, bertindak hati-hati, serta berbuat lebih teliti, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, agar mampu menggapai harapan melalui sosial ekonomi, pendidikan dan hukum yang selalu menjadi tumpuan dalam bernegara.
Maka dari itu, bagi para pemegang dan pelaksana kebijakan di Pemkab Pandeglang, untuk bisa menunduk dengan rendah hati, menengadah pasrah pada kebesaran Illahi, karena jabatan, kekuasaan, kepercayaan merupakan amanah.
Sehingga dibutuhkan sikap dan semangat kerja keras, serta tanpa mengedepankan ego sektoral yang menjadi landasan, dengan harapan mampu “Bersinergi” dengan segala unsur kepentingan yang ingin ikut memajukan Pandeglang kedepannya, sesuai dengan tema Hari Jadinya kali ini yang mengusung “Pandeglang Bersinergi” Bersatu Menuju Pandeglang Maju, dan Berdaya Saing.
Sehingga dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, kita tidak lagi meletakan suatu cara berpikir, bahwa waktu dijadikan sebagai tudingan dari “Pemeo” keterbelakangan, kambing hitam dari setiap keluhan, serta makian tentang ketidak mengertian. Karena selama ini tudingan zaman semakin maju, menempatkan masyarakat pada lambang ketidak majuan, dan pesatnya pembangunan selalu menganggap masyarakatnya dapat tersesat.
Pola kehidupan semakin berkembang, peradaban semakin dimajukan, sehingga memaksa masyarakat untuk ikut bersikap cerdas. Namun bila terjadi ketersendatan dari perkembangan pembangunan, maka masyarakat biasanya dianggap sangat berandil besar dalam hal ketidak cerdasan itu sendiri, karena masyarakat selama ini selalu dijadikan “Parameter” dari ketidak bermutuan suatu keberhasilan.
Mungkin bukan isapan jempol belaka, bahwa keberhasilan pembangunan di Kabupaten Pandeglang pada hakekatnya memerlukan kebersamaan dari berbagai unsur masyarakat itu sendiri, dengan tanpa mengabaikan norma-norma karakteristik daerahnya sebagai kota santri.
Kalaupun terjadi hambatan-hambatan di tengah perjalanan, jangan saling menyalahkan, tetapi harus mau duduk bersama menyatukan pemikiran, menyamakan perbedaan. Jadikan kegagalan sebagai pelajaran, buat setiap upaya dan usaha suksesnya tujuan, agar tidak menjadi bahan ejekan.
Maka dari itu, dibutuhkan kesepahaman baik dari kalangan eksekutif, legeselatif, yudikatif, maupun masyarakat pada umumnya, demi tercapainya tujuan. Karena kebersamaan merupakan salah satu cara, dalam membangun sebuah daerah. Hindari sikap arogansi, maupun sikap paling mampu, atau merasa paling punya kebijakan.
Sebab untuk dapat membangun sebuah wilayah, tidak semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan keharmonisan antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan, serta penerima kebijakan itu sendiri.
Sikap transparansi dari para kalangan pengambil kebijakan di Pemkab Pandeglang, merupakan salah satu cara untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sebab pejabat sebagai abdi negara, pelayan masyarakat, hendaknya selalu siap di tempat kerja, serta harus memiliki sikap tanggungjawab terhadap jabatannya. Ciptakan budaya kerja lebih ramah, agar suasana lebih sejuk, harmonis dan mengesankan bagi masyarakatnya. Jangan pernah jadikan sistem maupun aturan, sebagai alasan untuk memperpanjang birokrasi.
Di usianya yang ke-146 tahun, Kabupaten Pandeglang belum terlihat beranjak dari keberadaanya, bahkan masih banyak kekurangan-kekurangan yang sangat fundamental, yang patut menjadi sebuah perhatian, guna sama-sama di eja keberadaanya.
Seperti halnya segi pembangunan yang terkesan sentralistik dan stagnan, maupun tingkat kedewasaan para pejabatnya, yang terkesan terlalu menomor satukan sikap ego sektoral, agar dianggap paling berjasa dan paling mampu.
Bila kita bertanya pada diri kita, tentang parameter keberhasilan Kabupaten Pandeglang setelah usianya kini 146 tahun. Sepertinya banyak jawab tentang keprihatinan, karena memang itu tidak bisa kita pungkiri lagi, ini sudah menjadi sebuah realita, yang mau tidak mau harus kita akui kenyataanya.
Padahal jelas, kita selalu diingatkan pada 1 April setiap tahunnya, dimana pada tanggal itulah, kita sering melakukan perayaan-perayaan guna menyambut hari jadinya yang pada hakekatnya, merupakah hari dimana kita harus mampu merenung dan intropeksi, serta menengok kebelakang, karya apa yang telah kita torehkan untuk ranah yang telah memberikan kehidupan pada kita ini.
Mengimplementasikan untuk tidak berhenti berfikir dan kerja keras jauh lebih baik, terutama bila kita memotivasi diri, memperkaya prestasi untuk selalu siap dan menatap kepada satu pandangan positif, agar mendatangkan kebaikan kepada kehidupan kita.
Oleh karena itulah, “Jangan pernah gunakan topeng kemunafikan sebagai hiasan bahasa, serta mencari muka merasa paling berjasa,” sebab itu semua hanya akan menjadi bahan ejekan dan tawaan. (*)