Sulinggih Bali Saba Banten 2 : Asal Muasal Kailasa atau Gunung Pulosari

Sulinggih Ida Shri Empu Suranadhi sedang menuliskan huruf yang ia temukan di sebuah batu di area Tamansari, Cihunjuran, Mandalawangi, Pandeglang (foto kiri). Pasangan sulinggih Ratu Bhagawan Satwika Piningit, dan istrinya Sulinggih Ida Shri Empu Suranadhi serta Romo Galuh sedang berdoa di area yang sama (foto kanan). Chandra Dewi

“Tak semua orang Banten atau bahkan orang Pandeglang mengetahui nama Kailasa.”

BINGAR.ID – Kailasa yang sudah termaktub dalam sebuah naskah kuno bernama “Tantu Panggelaran,” adalah sebuah nama yang sebenarnya sudah tidak asing di telinga, atau banyak orang mengenalnya dengan nama Pulosari, yang saat ini lebih diidentikan dengan nama gunung berapi yang areanya mencakup sejumlah kecamatan di Kabupaten Pandeglang.

Gunung Pulosari atau dahulu disebut sebagai Gunung Kailasa, diceritakan sebagai penggalan dari Gunung Mahameru di India atau kala itu disebut sebagai tanah Jambudvipa (Jambudwipa). Dimana saat itu para Dewa melihat bahwa Pulau Jawa yang indah, hanyalah daratan yang sangat datar. Tak ada bukit, manusia, hewan dan pepohonan tinggi.

Baca Juga : Sulinggih Bali Saba Banten 1 : Persamaan Budaya Sunda Banten Dengan Bali

Bahkan tak cuma itu, kondisi pulau juga tak stabil. Selalu bergerak, bergetar dan terombang-ambing di lautan, sehingga akan merepotkan penghuninya bila pulau tersebut kelak diisi. Padahal, Pulau Jawa yang disebut sebagai Jawadwipa adalah pulau yang sangat elok dan cocok dijadikan tempat bersemedi.

Merasa sayang dengan pulau yang elok tersebut, para Dewa berkehendak mengisi pulau yang elok itu dengan manusia, hewan, dan tumbuhan. Agar kelak manusia bisa hidup dengan nyaman, disiapkan pula bentang alam seperti bukit dan gunung. Dalam kisah itu, gunung difungsikan sebagai pasak bumi agar Pulau Jawa bisa berdiri dengan stabil dan tak bergerak serta bergetar lagi.

Baca Juga : Seba Baduy, Pemkab Pandeglang Diingatkan Jaga Lingkungan

Maka, para dewa pun memotong Gunung Mahameru dan berencana memindahkannya ke Pulau Jawa sebagai pasak bumi yang akan menstabilkan pulau tersebut. Gunung Mahameru, kala itu diceritakan setinggi seratus ribu yojana. Saking tingginya sampai menyentuh langit dan dipuncaknya tinggallah Dewa Shiva atau Siwa.

Karena tingginya gunung tersebut, maka dipotonglah bagian puncaknya, hingga tinggi Mahameru hanya setengahnya atau seperti tingginya saat ini. Dan untuk memudahkan pemindahan potongan gunung Mahameru itu, Bathara Wisnu pun berubah menjadi sesosok naga yang panjang dan besar.

Naga itu kemudian membelitkan bagian tubuhnya ke penggalan Gunung Mahameru. Namun upaya itu masih belum membuahkan hasil, sehingga Sanghyang Brahma membantu dengan berubah menjadi kura kura raksasa yang menyangga penggalan gunung Mahameru ke Pulau Jawa di atas tempurungnya.

Baca Juga : Angklung Buhun” Karya Cipta Budaya Adiluhung

Pemindahan puncak gunung Mahameru ke Pulau Jawa itu pun akhirnya berhasil, dan diletakannya oleh para Dewa di ujung barat Pulau Jawa, atau yang saat ini dikenal dengan nama Gunung Pulosari. (*)

Tim Reportase Bingar.id : Chandra Dewi

Berita Terkait