“Begitu mendengar kata Banten, hati saya ini langsung tertarik. Ada semangat yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan ajakan kawan-kawan untuk pergi berkunjung kesana. Sayapun langsung memesan tiket pesawat dan prosesnya sangat-sangat mudah. Saya berpikir mungkin ini jalan Tuhan agar kami bisa sampai di Banten, dan disinilah kami hari ini.”
BINGAR.ID – Kata-kata tersebut, dilontarkan oleh Ida Satya Wimala Sadhu Daksanata, salah seorang Sulinggih dari Griya Taman Suranadi, Karangasem, Provinsi Bali. Saat singgah di Sekretariat Yayasan Balaputra Salakanagara, yang berada di Kampung Kalanganyar, Kelurahan Kalanganyar, Kecamatan dan Kabupupaten Pandeglang, Rabu 5 Juli 2023 kemarin.
Para Sulinggih dari Bali tersebut tiba ketika matahari tepat berada di atas kepala. Waktu yang tepat untuk sholat dan makan siang. Dimana setelah menunaikan Sholat Duhur, seluruh pengurus Yayasan Balaputra Salakanagara segera menyambut mereka dan berbincang hangat sembari menyantap hidangan makan siang khas Sunda Banten, yaitu nasi gonjleng lengkap dengan ikan mas bakar, ayam goreng lengkuas, ikan asin, aneka lalapan dan sambal serta sayur asem.
Baca Juga : “Angklung Buhun” Karya Cipta Budaya Adiluhung
Makan siang nikmat itu ditutup dengan seruputan kopi lokal dari Gunung Karang yang tak kalah nikmat dengan Kopi Bali yang sudah duluan kesohor se-Nusantara, sebari kami mendapatkan penjelasan tentang arti kata sulinggih, yang berasal dari kata Su yang berarti utama dan Linggih yang berarti duduk.
Oleh karena itu, sulinggih artinya adalah orang yang memiliki kedudukan utama dalam masyarakat Bali, lantaran keturunan Brahmana, bijaksana, memiliki pengetahuan agama Hindhu yang tinggi, serta berbudi luhur. Dan untuk diketahui, bahwa para sulinggih yang datang ke Banten, khususnya ke Pandeglang ini, yakni para Sulinggih yang berasal dari aliran Shiwa dalam agama Hindhu.
Tugas utama sulinggih adalah mendidik dan membimbing masyarakat Hindhu agar hidup sesuai ajaran agama serta moral di Bali. Selain itu para sulinggih juga menjadi pemimpin upacara adat berskala besar, seperti halnya upacara ngaben.
Baca Juga : Bebunyian dari Tradisi Huma Bakal Dibuat Pertunjukan Bertajuk Swara Jalawara Hawara
Masyarakat Bali juga percaya, sulinggih adalah manusia-manusia unggul dengan sejumlah kelebihan, karena sudah menjalani lebih dari dua kali masa reinkarnasi. Oh ya, sebagai informasi tambahan, di pura biasanya ada sebuah altar tempat berdoa atau disebut sebagai pelinggih, sehingga para sulinggih juga bisa diartikan sebagai orang yang memimpin doa di pelinggih.
Setelah obrolan kami makin dalam, kami dari Sunda Banten maupun para Sulinggih sama-sama kagum, lantaran begitu banyak kesamaan budaya, makanan, serta bahasa yang terungkap selama kami mengobrol. Namun yang paling menonjol adalah temuan kosakata Bali dan Banten yang sama-sama ada dalam bahasa daerah masing-masing.
Kami menjabarkan, bahwa setiap orang Banten pasti pernah ke Bali. Mendengar hal itu para sulinggih terheran-heran dan kemudian terharu ketika kami menjelaskan bahwa dalam Bahasa Sunda Banten, kata Bali berarti ari-ari. Oleh karena itu, setiap orang Banten dan seluruh manusia tentu saja pernah merasakan Bali, bahkan terhubung dengan Bali selama berada di dalam rahim ibundanya.
Baca Juga : “Gendreh” Tradisi Menumbuk Padi Yang Terbingkai Irama
Tak lama, giliran kami dari Sunda Banten yang disergap keharuan saat para sulinggih tersebut menerangkan bahwa dalam Basa Bali ada kosakata Banten, yang artinya adalah Upakara. Kata itu adalah gabungan dari kata Upa yang artinya berhubungan dengan, dan kara yang artinya pekerjaan, perbuatan, atau tangan. Sehingga secara utuh Banten atau Upakara dalam Bahasa Bali, adalah pekerjaan oleh tangan yang dibuat untuk berhubungan dengan Tuhan, yang mereka sebut dengan Sanghyang Widhi.
Oleh karena itu, bagi orang Bali, Banten adalah sesuatu yang penting yang sudah mereka kenal sejak kecil. Bahkan tak hanya itu, banyak kesamaan kosakata lainnya antara Bahasa Sunda Banten dan Bali, diantaranya ngariung atau berkumpul, Meuli atau membeli dalam Bahasa Bali, juga dilafalkan dengan Meli.
Baca Juga : Terancam Punah, Kejati Sarankan Pelestarian Ubruk Banten Lewat Perda
Gedang yang di Jawa Tengah dan Timur diartikan sebagai pisang, oleh orang Sunda Banten dan Bali diartikan sebagai pepaya. Kata nginum dalam Bahasa Sunda Banten yang artinya minum, atau disebutkan sebagai inum dan kata malam sama-sama kami sebut sebagai wengi.
Secara geografis, ternyata ada pula kesamaan Sunda dan Bali, karena di Pandeglang juga ada bukit atau gunung kecil yang berada di antara Gunung Aseupan, Karang dan Pulosari yang disebut oleh masyarakat Kecamatan Mandalawangi sebagai Gunung Bali. Sebaliknya di Bali, tepatnya di Pura Negara Gambur Anglayang Buleleng, terdapat salah satu pelinggih dengan tokoh yang disebut sebagai Ratu Bagus Sundawan, yang dipercaya sebagai orang Sunda.
Maka sejak datang, para sulinggih mengaku tak asing dengan tanah Banten yang saking banyaknya persamaan budaya dan bahasa, mereka seolah berada di kampung halamannya sendiri. Bahkan salah satu sulinggih, yaitu Ratu Bhagawan Satwika Piningit dari Griya Agung Manik Geni, setelah mengobrol panjang ternyata masih sepupu dengan Ketua Yayasan Balaputra Salakanagara Cakra Widiantara, yang merupakan keturunan Kerajaan Gelgel di Klungkung, Bali.
Obrolan manis itu berakhir saat matahari mulai condong ke barat dan bayangan benda sama dengan tingginya, atau dalam Basa Sunda disebut sebagai Kalangkang Satangtung. Menggunakan tiga kendaraan, kamipun menuju gunung keramat bagi masyarakat Sunda dan Bali yaitu Gunung Pulosari, atau kami kenal sebagai Kailasa alias rumah bagi Dewa Shiwa.
Kisah selanjutnya, tentang Sulinggih Bali Saba Banten ini akan kami teruskan pada bagian kedua yang bertajuk “Kailasa dan Kondisi Bangsa.” (*)
Tim Reportase Bingar.id : CANDRA DEWI