Solusi Ekonomi Saat Krisis ala Rasulullah SAW

Ilustrasi (Freepik)

BINGAR.ID – Rasulullah merupakan Nabi yang dikenal amanah dalam segala aspek. Salah satu yang menonjol dari beliau juga tentang bagaimana teladannya di bidang ekonomi yang berkeadilan.

Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah As-Saman dijelaskan, Rasulullah senantiasa mencari mata pencaharian meskipun harus disibukkan dengan urusan dakwah. Rasulullah pun memerintahkan umatnya untuk bekerja keras dan memakan hasil jerih payahnya sendiri.

Rasulullah bersabda: “Maa akala ahadun tho’aman, qathu khairan min an ya’kula min amali yadihi wa inna Nabiyyallahi Dawuda alaihissalama, kaana ya’kulu min amali yadihi,”. Yang artinya: “Tiada seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dibandingkan mengkonsumsi makanan dari jerih payahnya sendiri. Dan bahwasannya Nabi Dawud AS makan dari jerih payahnya sendiri,”.

Dalam hadis ini terkandung pengarahan dan petunjuk kepada masyarakat untuk dapat berdikari, mandiri, memerangi pengangguran, dan menopang kehidupannya dengan bekerja keras. Hadis ini juga memberikan petunjuk kepada individu-individu agar senantiasa mendukung pergerakan ekonomi nasional, bukan justru membebaninya.

Menekuni profesi dan usaha agar mandiri tidak mengurangi kehormatan pelakunya. Para Nabi Allah SWT senantiasa menekuni profesi-profesi mereka dan menjalankannya secara langsung. Sedangkan dalam aspek kenegaraan, Rasulullah juga memberikan petunjuk guna membangun dan mendapatkan ekonomi yang kuat dan berkeadilan.

Dalam buku Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer karya Adiwarman Karim dijelaskan, pemenuhan ekonomi rakyat salah satunya ialah tanggung jawab pemerintah. Salah satu pemasukan negara di zaman Nabi adalah zakat.

Penerimaan zakat dihitung secara proporsional berdasarkan persentase, bukan hanya nilai nominal. Sistem zakat perniagaan tidak memengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha.

Sehingga penerimaan zakat itu turut mengerek harga dan menekan laju inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat. Di zaman selanjutnya, yakni di zaman Khulafaur Rasyidin, anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) tidak pernah mengalami defisit.  (Ahmad/Red)

Berita Terkait