PANDEGLANG, BINGAR.ID – Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut bahwa saat ini aktivitas erupsi di Gunung Anak Krakatau (GAK) sudah mereda setelah sempat meningkat pada awal Februari 2022 kemarin.
Namun demikian, potensi erupsi GAK masih mungkin terjadi dalam beberapa waktu kedepan. Mengingat statusnya sebagai salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Hanya saja PVMBG memprediksi erupsi yang akan terjadi nanti tidak akan sebesar tahun 2018 lalu. Setidaknya dalam beberapa dekade kedepan.
“GAK sampai saat ini masih berada dalam fase erupsi. Terakhir kan tahun lalu, sempat mengalami erupsi dibulan Oktober-November. Kemudian siklusnya dia istirahat dulu sementara, lalu awal Februari erupsi lagi. Kemudian dia tenang lagi sampai sekarang,” jelas Subkoordinator Mitigasi Gunungapi pada PVMBG, Devy Kamil Syahbana saat ditemui di Pandeglang, Selasa (15/2/2022).
Baca juga: Aktivitas GAK Meningkat, Masyarakat di Pesisir Selat Sunda Diminta Waspada
“Tapi dari data-data kita, erupsi itu masih berpotensi. Jadi dalam waktu kedepan masih memungkinkan GAK erupsi lagi. Tapi untuk skalanya belum ada indikasi erupsi besar sekali,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, pasca-erupsi Desember 2018 silam, terjadi perubahan signifikan terhadap gunung api di Selat Sunda itu. Selain ketinggian yang terkikis, dari sekitar 330 mdpl menjadi 157 mdpl, aktivitas erupsi di GAK juga mengalami perubahan.
“Sejak tahun 2018, perubahan yang signifikan yang terjadi terlihat dari aktivitasnya berbeda. Sekarang erupsinya warnanya kolom abu. Sementara tahun 2018 erupsi strombolian kebanyakannya, jadi banyak lontaran lava pijar. Kalau sekarang lontaran lava pijar belum terjadi, masih kolom abu. Ini yang perbedaan dari gaya erupsinya,” beber dia.
Baca juga: Studi Terbaru: Longsoran Gunung Anak Krakatau Tahun 2018 Mampu Mengubur London
Kendati demikian, bukan berarti suatu saat nanti erupsi strombolian tidak terjadi lagi. Artinya gaya erupsi GAK bisa kembali ke gaya lontaran lava pijar.
“Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya dari volume magma yang keluar. Kalau misalnya volume magma yang keluar dalam jumlah yang banyak, lalu naik ke permukaan tanpa hambatan, itu bisa jadi warna merah lagi,” ujar Devy.
Namun melihat potensinya saat ini, Devy memprediksi dampak longsoran GAK saat ini akan cenderung lebih kecil.
“Kami tidak bisa pastikan kapan erupsi lagi dalam skala besar. Tapi kalau pertumbuhan gunungnya, berapa lama untuk mencapai ketinggian 330 meter? Kalau dibandingkan secara mudah, GAK pertama kali muncul tahun 1927. Kemudian longsor tahun 2018 dengan ketinggian 330 meteran. Berarti sekitar 90 tahun (tumbuh) sekitar 330 meter,” jelasnya.
Baca juga: Bukan Erupsi, Kunjungan Wisatawan ke GAK Merosot Karena Ini
“Jadi melihat itu, mungkin waktunya sekitar 90 tahun lagi akan erupsi beserta longsoran. Tapi kan gunung api itu kan tidak linier, kami terus monitor saja. Tapi yang jelas saat ini ketinggian kubah barunya di bawah 100 meter. Jadi potensi longsoran tahun ini lebih kecil dari tahun 2018,” sambung dia.
Devy mengimbau masyarakat khususnya yang tinggal di daratan, agar tidak panik secara berlebihan ketika GAK kembali erupsi. Saat ini PVMBG masih menetapkan status GAK pada level waspada, artinya wisatawan atau nelayan dianjurkan tidak beraktivitas dalam radius 2 km dari kawah.
“Jadi masyarakat tidak perlu khawatir selama mereka tidak beraktivitas dalam radius 2 km dari kawah. Artinya masyarakat yang beraktivitas di daratan tidak akan terdampak, kecuali nelayan yang beraktivitas di area sana. Karena GAK merupakan salah satu gunung api di Indonesia yang paling sering erupsi. Jadi kalau dia erupsi wajar, normal,” pesan Devy. (Ahmad)