Penulis : Eriana P. Chandra Dewi
– Ibu Rumah Tangga –
Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang Shin Saimdang, tokoh perempuan dari Korea Selatan yang menggagas sistem pendidikan di rumah atau homeschooling.
Hari ini saya mau bahas hal serupa, tapi role model-nya adalah orang Indonesia, tepatnya Suku Baduy atau yang lebih dikenal dengan Urang Kanekes. Saya berharap tulisan ini membuka mata teman-teman bahwa pendidikan di rumah itu yang utama, pendidikan di sekolah hanya pelengkapnya saja jangan sampai dibalik ya.
Bismillahirohmanirohim kita mulai ya. Bacanya pelan-pelan saja karena ini lumayan panjang bahasannya.
Jadi sebagai informasi, masyarakat adat suku Baduy khususnya Baduy dalam tidak memperbolehkan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Maka, sistem pendidikannya dilakukan langsung oleh orang tuanya serta masyarakat adat berikut para pupuhu atau para tetua adatnya.
Sedari kecil, anak-anak suku Baduy sudah dibawa ke ladang sejak pukul 4 pagi. Sebelumnya mereka mandi ke sungai, dan di sana belajar tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya air. Tentu saja belajarnya bukan dengan mendengarkan orang tuanya ngomong ala guru, tapi dengan mengetahui aturan adat bahwa ada lokasi-lokasi tertentu di sungai yang tidak boleh dipakai untuk mandi karena merupakan sumber air minum. Disinilah anak-anak Baduy belajar tentang konservasi alam, khususnya konservasi sumber daya air, yang ilmunya bahkan dipelajari sebagai jurusan khusus di universitas universitas yang memiliki fakultas kehutanan serta fakultas teknik lingkungan. Kereeen kan mak.
Lalu mereka makan dengan menu sederhana yang mayoritas adalah sayur-sayuran, di sana mereka belajar tentang gizi, bahwa vitamin dan mineral itu didapat dari karbohidrat dan sayuran yang bisa memberikan tenaga mereka untuk bekerja di ladang. Lagi-lagi cara belajarnya yaitu dengan praktek ibu-ibu menyusui anaknya dan menyuapi anaknya dengan nasi yang baru selesai diakeul di dulang. Yang terakhir ini anak-anak belajar tentang kuliner atau cita rasa.
Tak lupa, anak-anak perempuan yang lebih besar diajarkan untuk membuat nasi timbel sebagai bekal untuk dibawa ke ladang, di situ mereka belajar mengurus rumah tangga sedari dini. Mereka belajar bahwa dari rasa bisa naik ke hati, mereka belajar menyenangkan hati suami dan anggota keluarga dari masakan.
Mereka belajar bahwa bahagia itu sederhana, hanya dengan melihat senyuman anggota keluarga saat makan, sudah membuat berbunga-bunga, tak perlu piknik, tak perlu tik tok yang membuat hidup malah jadi rumit. Dan yang terpenting anak-anak perempuan Baduy belajar bahwa surga di rumah bisa diciptakan dari tempat yang berada di paling belakang rumah yaitu dapur.
Tak hanya itu mereka juga belajar menenun agar bisa memenuhi kebutuhan sandang keluarga. Lagi-lagi mereka belajar bahwa bahagia Itu sederhana, cukup melihat anak yang tersenyum lebar saat memakai baju baru dan suami yang tersenyum bangga saat ada acara adat menggunakan kain hasil tenunan istrinya tercinta. MasyaAllah indaaaah ya.
Sedangkan anak laki-laki, sedari kecil hidupnya dihabiskan di ladang. Mereka bekerja sekeras ayahnya bekerja. Dengan melihat ayahnya memgurus ladang, mulai dari menyemai benih menyiangi rumput hingga mengurus tanaman adalah cara mereka belajar. tak cuma di ladang ayah ayah Baduy juga mengajarkan cara merantau serta cara berdagang dengan mengajak anak-anak mereka keluar dari desa menuju kota untuk menjual madu atau aneka kerajinan. Disinilah ayah ayah Baduy mengajarkan ilmu ekonomi dan marketing.
Oh ya, apalah artinya ilmu tanpa ujian. Maka saat beranjak dewasa anak-anak Baduy di haruskan praktek mengurus ladang sekaligus bahan ujian dari orang tua agar orang tua tahu apakah anaknya sudah faham dengan ilmu yang mereka turunkan selama ini.
Mirip banget dengan based learning project kan? hebat ya orang Baduy udah menerapkan based learning project dari ribuan tahun yang lalu sedangkan saya baru kemarin kemarin belajar itu. Dan mungkin di luaran sana ada banyak orang tua yang bahkan belum tahu apalagi untuk bisa mengamalkannya. Kalahhh kita sodaraaaa ama urang Baduy.
Kerennya saat sudah baligh dan menuju usia siap menikah, anak laki-laki akan diberikan sepetak lahan oleh ayahnya sebagai modal saat ia kelak hendak membentuk sebuah keluarga. Mirip banget sama peribahasa berikan kail ketimbang ikan. Urang Baduy sudah amalkan peribahasa bijak itu daripada kita, yang untuk pendidikan saja masih banyak orang tua yang pelit.
Menyekolahkan anak di sekolah seadanya, tak pernah membelikan buku, dan mendampingi anak untuk membaca buku. Tak ada pola pendidikan di dalam rumah tapi mimpinya pengen anak jadi orang sukses dan berakhlak baik, kaaannn ajaib.
Dari situ kita bisa melihat orang-orang tua di Baduy fokus mengajarkan anaknya agar bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu yaitu sandang, pangan, dan papan. Karena sudah kodrati manusia bila tiga hal itu tercukupi maka manusia akan bersikap lebih tenang dan bahagia.
Bila sudah tenang, dan bahagia, Insya Allah tidak ada niatan untuk merusak hal-hal di sekitarnya karena ia tahu bahwa apa yang ada di sekitarnya itulah yang mendukung kebahagiaan dan ketenangan hidupmu.
Maka tidak akan ada penggunaan akal untuk tujuan merusak. Sehingga pada ujungnya manusia bisa selaras dengan masyarakat maupun alam sekitarnya alias harmoni dan keseimbangan hidup tercapai. Indah ya?
Cara belajarnya pun langsung dengan praktek sehingga lebih mendalam serta tak mudah terlupakan. Maka hampir tak ada sumber sejarah yang menuliskan tentang sistem pendidikan suku Sunda di kaolotan, dan kabuyutan. ini disebabkan karena tradisi bertutur atau proses transfer ilmunya melalui lisan dan praktek langsung di lapangan.
Yang bikin saya kagum, walaupun tidak menganut agama Islam tapi orang Sunda baduy benar-benar menjunjung tinggi adab. Ini sejalan banget kan dengan yang diajarkan oleh ulama-ulama besar dalam kitab ta’limul muta’alim bahwa adab itu di atas ilmu.
Anak-anak bersikap taat kepada orang tua sebagai bentuk perwujudan dari adab dan akhlak kepada orang tua dan masyarakat adat. Dengan begitu apapun yang diajarkan oleh orang tua menjadi berkah untuk kehidupan si anak itu kelak.
Apalagi bagi orang Sunda termasuk suku Baduy, ada salah satu prinsip dalam kehidupan yaitu hirup secukupna alias hidup secukupnya atau hidup sederhana. Tidak mengambil yang bukan haknya, tidak iri atas apa yang orang lain punya, dan bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Falsafah inilah yang menjadi nafas dari sistem pembelajaran di rumah ala suku Baduy.
Mereka fokus untuk mengolah dengan optimal apa yang mereka miliki masing masing, dan tetap berpegang pada aturan-aturan adat yang menjunjung tinggi kelestarian alam. mereka juga tak segan bergotong-royong untuk menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum misalnya mengolah hutan adat, mengolah sumber air dll.
Kalau sudah begini, saya merasa mereka jauh jauh lebih pintar nan bijaksana daripada saya yang katanya modern ini. Subhanallah benar-benar tulisan ini menjadi wujud dari perenungan diri saya atas pendidikan terhadap anak-anak dan saya berharap bisa menjadi bahan perenungan juga untuk kawan-kawan agar kita bisa mengembalikan sistem pendidikan yg utama dari rumah.
Sebagaimana penyair kondang Hafiz Ibrahim katakan yaitu Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. (Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan kebaikan bagi suatu bangsa sejak pokok dan pangkalnya. (*)