JAKARTA, BINGAR.ID – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, kebutuhan garam untuk bahan baku industri manufaktur belum dapat dipenuhi oleh pasokan di dalam negeri. Artinya, perlu dilakukan impor garam untuk mengisi kebutuhan tersebut.
Dia merinci kebutuhan garam pada tahun ini mencapai 4,4 juta ton. Di antaranya 84 persen merupakan kebutuhan industri manufaktur dan 5 persen-7 persen kebutuhan industri eksisting dan industri baru.
“Impor garam sebenarnya keterpaksaan, demi menjamin kepastian pasokan bahan baku garam bagi industri dalam negeri, khususnya sektor alkali, pulp, kertas, aneka pangan, farmasi, kosmetik, dan pengeboran minyak,” ujarnya, dikutip Antara, Jumat (9/10/2020).
Lagipula, Agus menerangkan, garam impor bisa memberikan nilai tambah melalui proses produksi. Maksudnya, garam impor dioalah di dalam negeri untuk diekspor kembali dalam bentuk produk dengan nilai yang lebih besar.
Pada 2019 lalu misalnya, nilai impor garam industri sebesar US$108 juta. Namun, ketika garam impor itu diolah kembali dan diekspor sebagai produk menghasilkan US$37,7 miliar.
Pun demikian, Agus bilang pemerintah tetap berupaya meningkatkan kualitas garam produksi dalam negeri. Di antaranya, melalui perbaikan metode produksi, termasuk penerapan teknologi di lahan maupun di industri pengolahan garam.
“Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi mencanangkan beberapa program untuk meningkatkan garam lokal,” imbuhnya.
Program yang dimaksud, antara lain implementasi garam tanpa lahan dari rejected brine PLTU. “Ini telah dibangun di Gresik dengan kapasitas 40 ribu ton,” jelas Agus.
Selanjutnya dilakukan perbaikan lahan pergaraman dengan pembenahan lahan pergaraman terintegrasi minimum 400 hektare.
“Pemerintah juga mendorong investasi pembangunan lahan garam industri di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan mendorong revitalisasi dan pengembangan pabrik garam farmasi oleh PT Kimia Farma (Persero),” lanjutnya. (Aditya/Red)