BINGAR.ID – Kalau saya amati, Publik dihadapkan pada keterkejutan yang luar biasa melihat para politisi berseteru satu sama lain direpublik ini. Bagaimana publik tidak terkejut, coba saja kita lihat akhir-akhir ini bagaimana tingkah pola mereka. Dulu mereka kawan, kini menjadi lawan. Dulu mereka menghujat kini menjilat habis-habisan.
Katanya dalam politik itu hal biasa, politik memang begitu, “tidak ada kawan abadi yang ada hanya kepentingan“. Ya boleh saja bilang begitu, dengan harapan lewat istilah itu, diupayakan agar publik mewajarkan tindakan mereka. Cuman, apakah iya se-liar itu mereka menampilkan watak aslinya. Bukankah yang ingin diraih oleh mereka politisi itu sebuah privilege?, tidak mungkin yang mereka cari adalah cibiran dan umpatan.
Kita banyak merekam segala tindak tanduk mereka tanpa harus menginvestigasi sana sini. Kita ambil contoh singkat saja. Pertama, Berkaca dari rentetan nuansa Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 misalnya. Dari dua perhelatan pemilu yang sudah di gelar pada waktu itu melahirkan dua kubu yang diametral, dan tak jarang perselisihan diantara keduanya mematik emosi, olok-olokan bahkan berujung sampai ke jeruji besi.
Namun apa yang terjadi kemudian, Mereka mengabaikan itu semua dan membaur seperti tidak ada luka diantara mereka. Bahkan si pengolok menduduki posisi strategis lebih dulu ketimbang kompetitor utamanya yang datang belakangan menikmati kursi kekuasaan sebagai kompensasi damai.
Contoh kedua, situasi teranyar yaitu jelang perhelatan pemilu 2024 yang sedang berlangsung. apa yang mereka tonton kan Di Perhelatan pemilu 2024, kecuali tindak tanduk mereka yang semakin menampilkan sisi ambiguitasnya. Kemarin bilang A, diakhir bilang B. Baru saja bilang masih setia, sedetik kemudian mencampakkannya. Dan tidak cukup sampai disitu, merekapun beradu upaya sampai harus menghalalkan segala cara, Konstitusi di ubah, kecakapan bukan lagi soal, ewuh pakewuh siapa berjasa apa dianggap tidak ada.
Mereka mempertontonkan itu semua dihadapan kita secara gamblang dan nyata. bisa ditemui di pemberitaan media mainstream maupun media sosial. Sehingga pada kali ini, saya berani mengatakan perhelatan politik Pemilu 2024 adalah bernuansa politik “tanpa rasa” alias hambar atau kata kalangan akademisi disebut sebagai politik tanpa etika.
Dengan Melihat perilaku dan situasi politik beberapa waktu ke belakang sampai dengan sekarang, ada beberapa dugaan dalam benak saya, rasa rasanya kok politik akhir ini dimaknai sebagai muslihat. ini gawat karena menurut kamus Wikipedia Muslihat berarti daya upaya, siasat atau taktik yang digunakan untuk menjebak seseorang atau sekelompok orang.
Dalam bahasa Inggris, muslihat dikenal dengan istilah deception yang berarti perbuatan atau pernyataan yang dapat menyesatkan, menyembunyikan kebenaran, atau bahkan menyebarluaskan dan membuat orang percaya terhadap kepercayaan, konsep, atau ide yang belum tentu benar.
Muslihat biasa digunakan untuk keuntungan personal. Muslihat dapat menyebabkan orang merasa dikhianati dan menghilangkan rasa percaya terhadap sesama. Kalau melihat definisi muslihat benar demikian, sangat cocok sekali dengan situasi pertarungan elit kita sekarang ini bukan.
Jadi, apa yang berkembang sekarang ini menurut saya adalah bukan bentuk perilaku politik, tapi lebih pada perilaku ahli muslihat. Sementara antara politik dan muslihat sangat jauh berbeda makna dan tujuan.
Apa jangan-jangan lewat cara mereka melakukan segala intrik dan desas desus dalam berebut kekuasaan, itu mereka ingin disebut begawan politik. Padahal sesungguhnya keliru dan membahayakan, atau sesungguhnya memang benar mereka bukanlah politikus tapi ahli muslihat yang identik dengan para pesulap.
Kita tahu semua apa itu Pesulap, pesulap bisa menyulap dirinya menjadi apa saja, yang ketika pesulap sedih penonton ikut tersedu-sedu, ketika pesulap marah penonton ikut mengumpat dan mencela, ketika pesulap memberi santunan, penonton gembira serasa mendapat perhatian berharga, dan ketika pesulap meminta sesuatu, penonton memberikan seluruhnya dengan sukarela.
Mengerikan bukan, kalau benar Negeri kita sedang dikuasai oleh para pesulap, entah belajar dari mana para pesulap itu, sehingga bisa sekian banyak jumlahnya, tidak mungkin belajar dari perguruan tinggi di Indonesia. Atau mungkin saja mereka lulusan sekolah Hogwarts, sebuah akademi sihir yang ditulis J.K. Rowling dalam serial bukunya berjudul Harry Potter. (*)
Penulis : ZAENAL ABIDIN
Mahasiswa STAISNU Nusantara Tangerang