Politik Identitas Jadi Sumber Kasus Rasial di Indonesia

Politik Identitas

Ilustrasi rasialisme. (Geotimes)

JAKARTA, BINGAR.ID – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap para pelaku politik identitas kerap menjadi akar masalah munculnya persoalan-persoalan rasialisme di Indonesia.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab mengatakan pelaku kasus rasial biasanya kerap menafikan keberadaan multikulturalisme identitas. Di antara mereka, umumnya adalah pihak yang ingin menjalankan politik identitas.

“Orang-orang yang ingin menjalankan politik identitas yang merasa ada ketunggalan dalam identitas, selalu ingin memaksakan satu cara berpikir bahwa identitas itu tunggal,” ujar Amir dalam keterangan yang dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (12/2/2021).

Baca juga: Bawaslu Ajak Masyarakat Antisipasi Politik Identitas Sejak Dini

Akibatnya, menurut Amir, seseorang atau kelompok yang merasa hidup dalam satu identitas biasanya kerap menunjukkan supremasi atau lebih unggul dibanding kelompok lain.

Padahal, lanjut dia, tak ada identitas tunggal. Bahkan, setiap orang menurut Amir bisa memiliki lebih dari satu identitas. Baik berbeda dalam etnis, ras, suku, maupun agama. Berbagai jenis identitas tersebut bisa berubah dan bisa digunakan di tempat dan waktu yang berbeda.

“Misalnya seseorang bisa saja dia ras tertentu dengan etnis berbeda. Ras sama etnis berbeda kan bisa terjadi. Dan itu banyak di dunia ini,” katanya.

Baca juga: Komnas HAM Ingatkan Polri Tak Represif Atasi Pendemo

Survey Komnas HAM selama 2011-2018, mencatat ada 101 kasus rasialisme terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, kasus rasisme paling banyak terjadi pada 2016 sebanyak 38 kasus, didominasi kasus di DKI Jakarta dengan 34 kasus.

Sementara berdasarkan tren tersebut, Komnas HAM mencatat peningkatan kasus rasisme juga banyak terjadi pada 2017 yakni saat gelaran Pilkada di DKI Jakarta.

DKI juga tercatat sebagai wilayah dengan jumlah perkara rasialisme paling banyak berdasarkan data Komnas HAM sebanyak 34 kasus. Disusul, DIY dengan 25 kasus, Sumatera Barat sembilan kasus, Sumatera Utara enam kasus, dan Jawa Barat tiga kasus.

“Nah ini penting untuk kita pahami agar kita memiliki ruang untuk memahami dan menerima perbedaan. Sehingga tidak ada di dalamnya muncul dominasi. Saya rasa ini penting,” kata Amiruddin. (Ahmad/Red)

Berita Terkait