Pesantren Dimasa Penjajahan, Santri Tercekam Bayangan Feodalisme

Pesantren Dimasa Penjajahan Santri Tercekam Bayangan Feodalisme (Foto.Google)

Mereka akan selalu siap membawakan payung bagi mereka yang sedang kehujanan, atau kepanasan. Dan mereka juga siap bila harus menjadi tongkat penunjuk arah bagi orang-orang yang sedang jalan terpapah-papah. Meskipun sikap sinis terus menerpa ditengah cengkraman kaum penjajah

BINGAR.ID – Pada masa penjajahan Kolonian Belanda di bumi Nusantara, para santri selalu menjadi korban dari sikap kebijakan para kaum-kaum feodal yang menerapkan Onthouding Politiek, yakni politik tidak mencampuri urusan Agama, sehingga segala aspirasi dan kepentingan pesantren tidak akan pernah mendapat perhatian.

Dilain pihak pesantren dan santri-santrinya pun tidak pernah mau meminta bantuan dari pemerintah Belanda yang waktu itu sangat dibenci. Maka itu, bila harus dikatakan pada massa penjajahan, kehidupan dipesantren sangat serba kekurangan, dan diperparah lagi oleh berbagai bahasa sinis yang terlontarkan untuk para santri maupun para kiyai-nya.

Kesulitan untuk membangun pondok-pondok pesantren, ditengah kondisi ekonomi sangat memprihatinkan, fasilitasnya yang serba kurang, semua ini tidak terlepas dari sikap politiknya kaum penjajah saat itu. Pendidikan keagamaan (Islam) mundur, tetapi pendidikan kaum Kolonialis Belanda semakin maju.

Dimana pusat-pusat pendidikan Agama Islam sampai terdesak ke daerah pedalaman dan pelosok-pelosok yang terpencil. Sementara pendidikan Belanda lebih menonjol ke tengah-tengah perkotaan, dengan mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah masa itu.

Perjalanan panjang sejarah penjajahan Belanda sempat memberikan kesan perbedaan tajam antara dua pendidikan, di satu pihak tampilnya orang-orang angkuh,, acuh, hirau dan tak bersahabat. Sedang di lain pihak bermunculan orang-orang militan, penuh dengan kesederhanaan, berperasaan peka terhadap gejolak-gejolak negatif yang berada di lingkungannya.

Ini hanya merupakan sebuah profil yang lahir dari orang-orang serba kekurangan, kebodohan, fanatik dan kemiskinan. Pada waktu itu peranan pesantren punya kedudukan penting, disamping sebagai pendidikan Ilmu Keagamaan Islam, juga sekaligus sebagai kancah para santri belajar bela-diri dalam gerak ketangkasan. Pesantren pada waktu itu telah mampu menyumbangkan putra-putra Indonesia yang beriman dan taat kepada Agama, secara terbina dan terpimpin.

Tumbuhnya rasa kesepakatan dan gotong-royong pada sesama, sebagai langkah awal tebentuknya patriotis-patriotis yang Agamis. Tidak pernah putus asa dan berani hidup mandiri, serta percaya terhadap diri sendiri. Keseimbangan tenaga fisik dan tenaga badit yang didasari Iman dan Taqwa, dalam menghadapi setiap tangtangan.

Jiwa solidaritas senasib-sepenanggungan, di bentengi pikiran, sifat dan tingkah-laku (Perbuatan), sejalan dengan Agamanya. Berani mati (Syahid) dalam membela kebenaran, untuk kepentingan bangsa, negara dan Agama, dengan tidak menuntut balas jasa.

Pesantren inilah pada jaman penjajahan Belanda yang lebih awal merupakan sumber kekuatan dalam pergolakan dan kebangkitan. Pesantren anti penjajahan dan penindasan yang pada waktu itu dilakukan oleh kaum Kolonialis Belanda, sedang pendidikan yang mendapat fasilitas Belanda, malah merapuhkan jiwa Nasionalisme, Heroisme, dan Patriotisme. Meskipun memang tidak juga dapat dipunggkiri, ada sebagian lain yang ikut pendidikan formal dimasa Belanda saat itu, juga tampil menjadi pahlawan-pahlawan Nasional.

Pesantren sebagai kawah candradimuka, atau sebagai sarana penempa ilmu keagamaan yang terserak di pelosok-pelosok desa, tradisional, terisolasi, dengan cara belajar hanya dari seorang Kiyai (guru). Tidur beralaskan tikar dan berdesak-desakan di satu kamar, keadaannya pun serba terbatas serta jauh dari berkecukupan, ditambah lagi dengan lingkungan yang sepi, tertutup. Dan hanya sikap maupun prilaku disiplinlah yang para santri ini lakukan, dari semenjak menuntut ilmu sampai khatam (tamat).

Sikap ikhlas Kiyai yang tidak pernah menerima bayaran, atau pun meminta balas jasa dari para santrinya. Sehingga para santri pun akhirnya siap berkorban demi mendapatkan ilmu Agama yang kemudian suatu saat juga akan mereka si’arkan para kaum dan generasi selanjutnya. (Aditya/Red)

Berita Terkait