Peran Penting Pria dalam Menghapus Budaya Kekerasan pada Perempuan

Kekerasan pada perempuan

Pria dianggap punya kuasa terhadap perempuan yang memiliki hubungan darah dengannya, atau yang menjadi pasangannya. (Freepik)

BINGAR.ID – Hingga saat ini kekerasan berbasis gender masih menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Yang muncul di permukaan hanyalah sedikit dari banyaknya kasus yang terjadi. Dalam kadar ringan, karena budaya patriarki yang mengakar, kekerasan pada perempuan yang dilakukan oleh orang terdekatnya (kekerasan domestik) malah seringkali diwajarkan.

Pria dianggap punya kuasa terhadap perempuan yang memiliki hubungan darah dengannya, atau yang menjadi pasangannya. Kepatuhan seringkali menjadi alasan melakukan kekerasan. Budaya patriarki memang “memaksa” perempuan menjadi makhluk patuh dan pasrah akan hukum yang dibuat atas sudut pandang pria.

Kesadaran Pria untuk Berubah

Namun tak semua pria juga mengamini budaya patriarki. Sudah sangat banyak gerakan feminis yang justru diinisiasi oleh pria-pria dengan pikiran terbuka. Salah satu yang ada di Indonesia adalah Aliansi Laki-Laki Baru (ALB). Pengurus ALB Jundi menjelaskan apa yang menjadi tujuan terbentuknya ALB.

Baca juga: Tekanan Mertua Picu Peningkatan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Banten Selama Pandemi

“ALB memiliki kepentingan untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok minoritas lainnya dengan cara mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender kepada masyarakat terutama kepada kelompok laki-laki,” Jelas Jundi.

Pria Modern Perlu Melakukan Refleksi

Salah satu kegiatan kegiatan yang terus dilakukan ALB dari awal berdiri adalah mempromosikan konsep maskulinitas positif. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa budaya bahwa salah satu gender harus lebih relevan dari gender yang lain tak lagi relevan. Relasi kuasa tersebut bisa menjadi bibit-bibit perilaku kekerasan.

Baca juga: Selama Pandemi, Kasus Kekerasan Anak di Pandeglang Meningkat

“Istilah laki-laki baru tidak diartikan secara harfiah, tapi mengandung filosofi bahwa laki-laki semestinya melakukan refleksi atas peran sosialnya selama ini. Misal dalam konteks relasi, apakah ia mempraktikan relasi yang dominan, baik terhadap perempuan, anak-anak, pada laki-laki lain, atau pada orang-orang dengan peran gender tertentu,” tambah Jundi.

Menghilangkan Pandangan “Toxic Masculinity”

Sudah tak zamannya lagi menuntut lelaki untuk terus kuat, tegas seolah mereka bukan manusia yang punya hati dan perasaan. Nilai-nilai toxic masculinity yang menuntut kaum pria secara turun-temurun ini yang kemudian membuat kesetaraan gender tak pernah tercapai. Secara kasat mata, pria memang dielu-elukan sebagai makhluk yang kuat, padahal sebenarnya ini sangat merugikan. Sejatinya setiap manusia akan mengalami titik lemah dalam hidupnya apapun gendernya. Apabila lingkungan sosialnya menuntut pria untuk tidak lemah, bayangkan saja tekanan yang dialami para pria seumur hidupnya.

Baca juga: Perempuan Agen Perdamaian Cegah Radikalisme

“Sebagai laki-laki kita bisa turut mempraktikan hal-hal yang selama ini dianggap tidak mungkin, misalnya bagi yang sudah berkeluarga menerapkan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan pasangan, bahkan pada hal tertentu perlu melibatkan anak-anak. Lalu berbagi peran domestik, ayah terlibat dalam pengasuhan, tidak mempraktikan kekerasan dalam keluarga, dsb. Dalam konteks toxic masculinity, hal di atas dianggap sebagai suami takut istri, tetapi dalam konteks maskulinitas yang positif, hal tersebut adalah wujud merayakan kehidupan dengan kasih sayang,” beber Jundi.

Jika semua pria di indonesia menganut konsep “Laki-laki baru” maka niscaya perilaku relasi kuasa berdasarkan gender tak lagi terjadi. Secara otomatis, angka kekerasan terhadap perempuan pun akan menurun. Pria dan perempuan memiliki posisi, berjalan beriringan sebagai kawan. Bukan urusan siapa, patuh pada siapa, tapi saling menghormati, mendukung dan menyayangi. (Red)

Berita Terkait

Berita Terbaru