BINGAR.ID – Pengamat Hak Asasi Manusia (HAM), Besar mengungkapkan, tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah mengesampingkan hak bagi penyandang disabilitas. Sebab, peraturan perundang-undangan sudah mengatur bagaimana 18 hak disabilitas yang harus dipenuhi oleh pemangku kebijakan.
Diantaranya hak aksesibilitas, hak pelayanan publik, hak hidup secara mandiri, hak kesejahteraan sosial, termasuk hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi.
Besar menjelaskan, hakikatnya, ketentuan untuk menjamin hak penyandang disabilitas sudah termaktum dalam UUD 1945. Lalu dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas. Kemudian aturan lain berupa Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2019 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Terbaru adalah Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2020 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dalam Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
“Undang-Undang Disabilitas itu berangkat dari UUD 1945, baik dalam pembukaan alinea keempat maupun pasal-pasalnya, yang menjamin setiap warga negara secara eksplisit dan konstitusif, tercantum bagaimana negara untuk memajukan kesejahteraan umum,” paparnya, Minggu (5/7/2020).
Baca juga: K2PC : Halangi Hak Bekerja Disabilitas Terancam Pidana
“Mengacu hal itu tidak membatasi orang per orang. Siapapun yang menjadi warga negara, dia mendapat hak yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan. Selain Undnag-Undang, kan ada PP dan Perpres. Itu sudah cukup kuat dijalankan dan harus dimengerti oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah,” sambung Besar.
Mananggapi polemik perekrutan pegawai Mal Pelayanan Publik (MPP) Pandeglang yang dinilai mendiskriminasikan penyandang disabilitas, akademisi hukum Universitas Bina Nusantara (Binus) ini menerangkan, bisa saja pihak yang menghalangi atau berusaha dengan sengaja melarang penyandang disabilitas memeroleh haknya dikenai sanksi pidana.
Baca juga: DPRD Pandeglang Singgung Pemda yang Tak Berdayakan Penyandang Disabilitas
“Soal pidana, di Pasal 145 (Undang-Undang Disabilitas) itu bahkan menyebutkan tiap orang yang berusaha untuk menghalangi atau melarang disabilitas mendapatkan hak-hak konstitutifnya, mereka terancam pidana,” bebernya.
Dengan Undang-Undang yang sudah ada, lanjut Besar, seharusnya Pemda memahami dan taat dengan aturan yang berlaku. Dia menduga, munculnya masalah tersebut disebabkan oleh buruknya komunikasi pejabat daerah dengan warganya sehingga kerap terjadi gap atau masalah.
“Yang menjadi kendala adalah, pusat belum memberitahukan secara detail ke Pemerintah Daerah. Atau Pemda belum paham terhadap apa yang dimaksud pusat. Ini adalah bagaimana kualitas komunikasi pusat ke daerah dan kualitas Pemda atas peraturan perundang-undangan yang ada,” ujarnya.
Baca juga: Bukan Seleksi CPNS, Sekda Nilai Rekrutmen Pegawai MPP Belum Butuh Penyandang Disabilitas
Oleh karenanya, Besar menyarankan pemerintah untuk segera memperbaiki komunikasi dengan penyandang disabilitas dan menghormati kebutuhan mereka. Pemda harus aktif untuk menyambut keinginan pemerintah pusat agar bagaimana menghormati, menyediakan, dan menyamakan derajat kaum disabilitas. Karena Undang-Undang 8 Tahun 2016 menjunjung tinggi keberadaan kaum disabilitas.
“Jadi saya tekankan komunikasi yang baik antar dan antara pihak yang bertanggungjawab dengan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini yang terkena imbasnya, yakni disabilitas. Pemda harus segera menjalin komunikasi dengan penyandang disabilitas,” pesannya. (Ahmad/Red).