Dalam perjalananya, Hari Buruh di Indonesia mengalami kisah yang kelam. Bahkan peringatannya sendiri sempat hilang beberapa dekade
Oleh : Atiah, Direktur Situs Berita Bingar.id
Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya, untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik itu uang maupun bentuk lainya dari si pemberi kerja. Buruh juga bisa disebut sebagai sebuah profesi, atau pekerjaaan yang diikat dengan sebuah kesepakatan, baik secara lisan maupun tulisan antara si pemberi kerja dengan memberi imbalan, atau upah, dan buruh memberikan jasa atas kemampuannya.
Hari ini, Jumat 1 Mei 2020, mungkin menjadi hari paling bersejarah bagi sebagian pekerja yang disebut dengan nama “Buruh.” Pasalnya, di tanggal 1 Mei inilah lahir sebuah kesepakatan antara pemerintah dengan kaum buruh, melalui ketetapan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, yang secara langsung atau pun tidak, negara pada akhirnya mengakui keberadaanya.
Hari buruh ini pun, bisa juga disebut sebagai “May Day” yang menjadi hari besar dan bersejarah bagi kaum buruh. Karena dengan adanya Hari Buruh inilah, sedikit banyak telah membawa perubahan besar terhadap nasib para buruh, melalui terpenuhinya hak-hak mereka sebagai seorang pekerja, mulai dari hak cuti, delapan jam kerja, hak berserikat, hak untuk mendapatkan pesangon, hak untuk kesehatan, hak untuk mendapatkan hari libur, hingga kesetaraan upah bagi laki-laki dan perempuan.
Padahal bila kita merunut sejarah jauh kebelakang, awal lahirnya Hari Buruh ini, merupakan reaksi atas revolusi industri yang terjadi di negara-negara besar, seperti halnya di Amerika Serikat. Dimana pada tahun 1886, sebanyak 200.000 buruh di Amerika, saat itu sempat melakukan mogok massal, hanya untuk menuntut hak bekerja tidak lebih dari delapan jam.
Sementara di Indonesia sendiri, Hari Buruh mulai di peringati pada 1 Mei 1920. Namun, dalam perjalananya, Hari Buruh di Indonesia mengalami kisah yang kelam. Bahkan peringatannya sendiri sempat hilang beberapa dekade.
Namun setelah Indonesia merdeka, tepat pada 1 Mei 1946, perayaan itu kembali diperbolehkan, bahkan dianjurkan oleh Kabinet Syahrir. Bahkan pemerintah juga menetapkan UU No 12/1948 tentang Kerja yang isinya menetapkan pada 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
Peringatan hari buruh terus berlanjut hingga 1 Mei 1950, para buruh mengajukan tuntutan Tunjangan Hari Raya (THR). Perjuangan tersebut membuahkan hasil, pada 1954 pemerintah melahirkan Peraturan tentang Persekot Hari Raya, Surat Edaran Nomor 3676/1954 tentang Hadiah Lebaran dan Permen No 1/1961 yang menetapkan THR sebagai hak buruh.
Namun, sepanjang masa orde baru, tepatnya pada era Presiden Kedua RI, Suharto, peringatan hari buruh dilarang. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.
Meskipun begitu, aksi sporadis sering muncul dan berakhir dengan penangkapan para demonstran. Pemerintah bertindak represif pada buruh yang melakukan aksi mogok kerja. Pegiat hak buruh ditangkap, bahkan dibunuh. Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, Jawa Timur, adalah salah satu korban yang tewas pada Mei 1993.
Setelah orde baru berakhir, gerakan serikat buruh mulai bermunculan. Lahirnya gerakan serikat buruh didukung dengan ratifikasi konvensi ILO nomor 81 tentang kebebasan berserikat bagi buruh pada masa Presiden BJ Habibie, dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh tersebut.
Dan sejak saat itulah, para buruh rutin turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka setiap 1 Mei. Bahkan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional yang hingga kini masih terus diperingati sebagai sebuah refleksi, bahwa nasih ada sementara buruh yang belum mendapatkan hak-hak nya sebagai pekerja.
Artikel ini dikutip dari berbagai sumber, sebagai sebuah referensi