“Rengkong” Sebuah Kesenian Buhun Bernafaskan Religi

Kesenian Rengkong/ISTIMEWA

Bingar.id – Mengarak Dewi Sri berkeliling kampung sambil menari dan bertembang, terangkum dalam sebuah kemasan budaya, yang begitu keras, lembut serta menyentuh, karena uraiannya tidak begitu lepas dari pakemnya. Kalaupun sekarang kesenian Rengkong masih ada, kemiripannya tetap masih seperti yang dulu, alat pemikulnya bambu, ikatannya tali injuk, gantungannya juga masih pocongan padi.

Setiap langkah dan gerakan diselaraskan irama yang diinginkan, diantara sesama lelaki yang menari, saling mengisi dan melengkapi, termasuk menyempurnakan lagu-lagu yang dibawakan. Suara bambu, gesekan tali injuk, untaian-untaian pocong padi, saling melantunkan irama berbeda, namun alunannya selaras dengan gearakn setiap penari.

Rengkong merupakan kesenian buhun bernafaskan religius, perasaan para penari lebih menentukan irama atau lagu yang dikehendaki. Sebuah perwujudan suara alam, yang getarannya membuat jeritan bambu, rintihan gesekan tali injuk, dan desah nafas kibasan untaian-untaian padi, keharmonisannya mampu menyuarakan keramahan manusia, terhadap lingkungan alam semesta, untuk saling berkomunikasi, dalam khodrat masing-masing.

Kesenian Rengkong dimainkan minimal 8 orang laki-laki, tanpa menghilangkan ciri khas Banten, busana serba hitam lengkap ikat kepala, sarung terikat di pinggang, dengan sebilah parang disandang. Gerakan tarinya lebih didomina jurus-jurus persilatan, dikenal sebagai “Kembang” atau gerakan fantasi, melalui tahapan-tahapan formal kelincahan masing-masing.

Sebuah refleksi budaya yang diwujudkan ke dalam seni, tidak pernah lepas dari etika adat istiadat, yang selalu taat dan patuh kepada pokok permasalahannya, memestakan keberhasilan panen, dengan menggusur Dewi Sri. Tetapi bukan itu saja bentuk-bentuk asli yang kita lihat, ada sesuatu yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, ini dikenal sebagai bahasa isyarat.

Rengkong merupakan sebuah kesimpulan kreativitas, yang di tuangkan menjadi kesenian agar bia diingat dan dikenang  sepanjang generasi, tetapi tiba-tiba terhenti terjengkal pengaruh luar. Orang Banten sudah banyak yang beratnya Rengkong itu apa sih, karena memang sudah sulit di jumpai, bersama dengan hilannya saung huma, lumbung dan leusung.

Yang ada sekarang Gudang Beras milik Dolog, penggilingan padi milik pengusaha, petani hanya sebagai buruh penggarap sawah, hari ini panen, besok paceklik. Siapa Dwi Sri, siapa Nyi Pohaci, apa yang menjadi kebanggaan petani, jawabannya hanya ada pada orang-orang yang sedang berkuasa. Kesenian Rengkong tidak mampu lagi menggambakan kesejahteraan secara utuh, dalam tatanan tradisi adat-istiadat. (Aditya)

Berita Terkait

Berita Terbaru