Menelusuri Jejak Tangan Kanan Soeharto Di Cigeulis

Sebuah penginapan yang berdiri diantara sisa-sisa kemegahan Mega Camara Golf Club (Foto: Ishana)

PANDEGLANG, BINGAR.ID – Masyarakat Indonesia yang mengalami era Orde Baru pasti mengenal sosok Laksamana Soedomo.  Jabatannya sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Pangkobkamtib membuat namanya masyur di seantero nusantara.

Ia dikenal tegas dan tak segan bertindak keras pada orang orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban hingga seolah-olah ia diibaratkan sebagai tangan kanan presiden saat itu yaitu Soeharto.

Namun, siapa sangka, jenderal flamboyan itu pernah menjejak bumi Banten di era 80-an. Di Tanah jawara ini ia bahkan meninggalkan sejumlah aset diantaranya sebidang tanah di pinggir pantai di Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Bukan sembarang tanah, di lokasi itu ia membangun resort plus lapangan golf 18 lubang yang pernah menjadi salah satu lapangan golf terbaik di Indonesia.

(Foto: Ishana)

Nama tempatnya adalah Mega Camara Golf Club. Didesain oleh arsitek kondang khusus lapangan golf yaitu Jeff Hoff, lapangan golf Mega Camara ini unik karena beragamnya kontur hole golfnya. Ada yang terletak di pinggir pantai dengan track berpasir putih, ada juga track rumput yang sedikit basah lantaran lokasinya dekat danau, dan ada pula lapangan rumput berbukit-bukit macam rumah teletubbies.

Keanekaragaman inilah yang kabarnya banyak disukai pegolf karena menjanjikan sensasi memukul yang berbeda ditiap holenya.

Danau di tengah Mega Camara Golf Club (Foto: Ishana)

Sayang, lapangan golf itu kini tinggal bekasnya saja. Sudah sejak lama arena olahraga elit itu tak difungsikan. Padahal dahulu sekira tahun 80-an akhir, ratusan warga setempat menggantungkan hidupnya sebagai pegawai disana.

Kini, lokasi eks lapangan golf pak Domo itu dikenal sebagai Pantai Bugel dan masih dijaga oleh sejumlah petugas keamanan. Tak diketahui apakah lahan itu masih dimiliki oleh keluarga Pak Domo atau tidak.

Sisi Pantai Bugel (Foto: Ishana)

Yang jelas, saat ini lahan itu sangat bermanfaat bagi warga setempat karena dijadikan lokasi untuk mengais rezeki sebagai pedagang. Mereka menjual air mineral, makanan ringan, kopi dan teh pada tamu-tamu yang datang menikmati indahnya Pantai Bugel.

Walaupun begitu, di lokasi tersebut, kita masih bisa melihat sisa-sisa kemegahan golf club. Disejumlah tempat masih terlihat bekas sprinkel atau penyiram rumput otomatis merek Rain Bird. Tata pertamanan juga terlihat pernah diterapkan di lokasi itu karena sejumlah tanaman hias masih tumbuh hingga kini.

Dibeberapa sudut kita juga bisa melihat boks bekas pengatur laju air pada sprinkel dan rumput jepang yang tumbuh subur bergerombol. Di danau, kita masih bisa melihat tanaman teratai yang tumbuh subur dengan bunga warna merah jambu dan putih.

Oh ya, sekira dua tahun lalu, bila berkunjung ke pantai ini kita masih sering dimarahi oleh petugas keamanan bila ketahuan menginjak rumput. Namun sejak akses ke pantai tersebut lebih terbuka setahun terakhir, larangan itu tak dikeluarkan lagi lantaran jumlah pengunjung yang makin meningkat.

Selain itu, sesuai namanya, disejumlah tempat kita juga bisa melihat pokok-pokok pohon cemara yang ditanam. Pohon dengan akar yang kuat itu menjadi peneduh untuk melawan teriknya matahari.

Sisa Sprinkel yang yang biasa digunakan untuk menyiram rumput (Foto: Ishana)

Melihat sisa-sisa lapangan golf itu saya benar-benar kagum. Soalnya, ditahun 80-an akhir sejumlah kecamatan dibagian selatan Pandeglang diantaranya Cigeulis, Cibaliung, dan Cimanggu belum tersentuh cahaya listrik.

Tapi, di tempat seterpencil itu, ada sebuah lapangan golf dengan peralatan canggih yang didatangi oleh pembesar pembesar negara.

Menurut keterangan Jangkung, mantan petugas keamanan di Pantai Bugel ia mendengar bila lapangan golf itu awalnya memang milik Laksamana Soedomo, tapi ia tak bisa memastikan kebenarannya lantaran belum melihat serifikat lahannya serta belum pernah bertemu dengan Sang Laksamana selama ia bekerja.

Tapi, dari cerita sesepuh setempat, kata Jangkung lahan itu semula adalah lahan kosong yang dipenuhi pohon kelapa. Sekira tahun 70an mulai dibebaskan dan dibangun menjadi villa.

“Tapi saya nggak tahu kebenarannya soalnya beliau kan pejabat yang tinggi, agak susah bagi saya menemui beliau kalaupun beliau berkunjung ke sini. Yang jelas saat saya bekerja yang mengelola lapangan golf ini namanya bapak pak Gusti. Saya tidak tahu hubungan beliau dengan Pak Jenderal Domo,” ujar lelaki yang bekerja di lapangan golf itu sejak tahun 90an.

Ia menceritakan, selama ia bekerja, kepemilikan pantai Bugel dan eks lapangan golf itu kerap berganti ganti. Selepas pak Gusti kini ia mendengar bila pemiliknya yang baru adalah Pak Ganda. Namun ia tak mengenal lebih jauh siapa Pak Ganda tersebut. Yang jelas ia pernah bertemu sekali saat Pak Ganda datang ke Bugel menggunakan helikopter.

Salah satu sudut yang ada di area Mega Camara Golf Club (Foto: Ishana)

Dulu, lapangan golf itu dijaga sangat ketat. Jarang ada warga setempat yang bisa masuk lantaran pengelola berpesan agar petugas keamanan menjaga dengan baik seluruh property disana termasuk rumput-rumput yang membutuhkan perawatan ekstra.

Iif, warga Kampung Cikujang, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang yang ditemui di lokasi mengatakan, ia dulu adalah pekerja di lapangan golf sekira tahun 90an. Ia bertugas menjaga kebersihan dan keindahan rumput serta tanaman di beberapa area di lapangan golf tersebut.

“Dulu tamu yang datang biasanya menggunakan mobil bagus dengan ban tinggi. Soalnya akses jalannya jelek dan harus melewati Citereup, kemudian menuju Marapat Cigeulis. Jarak tempuhnya dari Marapat ke Bugel saja bisa satu jam lebih karena jalannya berkelok-kelok dan banyak tanjakan,” kenangnya.

“Apalagi dari Jakarta, udah kebayang jaraknya ratusan kilometer. Kalau sekarang enak soalnya sejak tahun lalu sudah dibangun jalan beton dari Tanjung Lesung. Makanya jadi lebih nyaman dan waktu tempuh jadi lebih singkat,” katanya sambil menambahkan dulu ia juga pernah melihat ada tamu dari Jakarta yang datang menggunakan helikopter atau kapal dari Kecamatan Labuan.

Iif membetulkan bahwa lokasi itu dikenal oleh masyarakat setempat sebagai milik Jenderal Soedomo atau Pak Domo walaupun ia mengaku belum pernah melihat wajah jenderal besar tersebut karena ia hanya pegawai rendahan. (Ishana/Red)

Berita Terkait

Berita Terbaru