Memori Tsunami Selat Sunda 2018

PANDEGLANG, BINGAR.ID – Wajah Ujang (23) menegang, keningnya berkerut, matanya menerawang ke arah laut. Sesekali tangannya mengusap rambut dan wajahnya.

“Muhun bu, syareatna pami abdi teu nyeuri awak asup angin pasti abdi geh janten korban. Soalna sadayana anu meuting didieu mah maot,” (iya bu, kalau saja saya tidak sakit badan karena masuk angin, pasti saya pun menjadi korban. Soalnya seluruh (Pedagang) yang menginap disini (di pantai Legon Waru ) menjadi korban,” ucap Ujang belum lama ini.

Ujang mengatakan hal itu sambil mengusap wajahnya berulangkali. Seolah ingin mengenyahkan ingatan buruk tentang tsunami Selat Sunda pada 2018 silam, iapun seringkali menghela nafas berat.

Duduk di amben bambu yang berjajar di saung-saung di Pantai Legon Waru, Ujang, warga Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten itu berkata tsunami Selat Sunda adalah pengalaman hidup terburuk yang pernah ia rasakan.

“Namanya dagangan mah nggak saya pikirin bu. Tapi sampai sekarang masih suka terbayang teman-teman pedagang yang meninggal. Ada 9 orang bu, termasuk satu orang bayi usia 5 bulan yang hingga kini jasadnya tak ditemukan,” jelasnya.

Para pedagang yang meninggal itu, menurut Ujang, sebagian besar adalah keluarga dan kerabat ibu Ambon. Beliau, menurut Ujang adalah pedagang paling tua di pantai tersebut. Apalagi, rumah ibu Ambon berada di pinggir pantai Legon Waru jadi kebutuhan air biasanya diambil dari rumahnya.

Ujang menuturkan, sehari sebelum tsunami, ia dan para pedagang sudah belanja barang dagangan. Maklum, kala itu menjelang tahun baru. Jadi pantai pantai di Tanjung Lesung termasuk pantai Legon Waru mulai didatangi wisatawan sehingga para pedagang mulai menyetok agar tak kehabisan. Apalagi, malam sebelum tsunami, bulan sedang purnama dan malam Minggu. Jadi banyak muda mudi yang menghabiskan malam di pantai.

Tapi, sudah suratan, Ujang bersama kelima kawannya sekira pukul 20.00 WIB mulai merasa tak enak badan. Ada yang masuk angin, ada pula yang terus menerus buang air. Akhirnya kelima orang tersebut memutuskan untuk pulang ke rumah masing masing. Sementara 9 orang pedagang lainnya yang sebagian besar adalah keluarga ibu Ambon memutuskan menginap di pantai.

“Kalau dagangan tetap kita tinggal di pantai, kan kita bisa nitip ke pedagang lainnya. Tahu tahu jam 10 malam (22.00 WIB) kami dapat kabar ada tsunami. Kami nggak berani ke pantai dan baru besoknya kesana. Ya begini akhirnya, pantainya berubah dan kawan kawan kami semua meninggal,” ujarnya pilu.

Ia mengaku saat ia dan lima kawannya pulang karena sakit, mereka merasa sedih karena kehilangan keuntungan dari dagangan. Namun kini, ia mengaku mengucapkan syukur kepada Allah yang telah menimpakan penyakit pada dirinya dan kawan kawannya. Ibaratnya, gara gara sakit itulah, ia mendapat bulan jatuh dalam ribaan atau mendapatkan keuntungan besar berupa keselamatan.

Sekadar mengingatkan, tsunami Selat Sunda menelan korban sebanyak 437 tewas, 7.202 luka, 154 hilang. Selain jumlah itu, di Pandeglang ada 5 jenazah tanpa identitas yang akhirnya dikuburkan lantaran hingga hari terakhir periode tanggap darurat tak ada keluarga yang mengakui.

Tsunami Ubah Wajah Pesisir Pantai Tanjung Lesung

Tak hanya berdampak pada kehidupan manusia, tsunami Selat Sunda juga berdampak ada wajah gugusan pantai di bagian Barat Pandeglang tersebut. Bingar.id sebelum tsunami pernah mengunjungi Pantai Legon Waru.

Saat itu, wajah pantainya sangat unik karena selain pasir pantainya yang lembut, ada hamparan karang berlumut di beberapa bagian pantai. Karena banyak cekungannya, hamparan karang berlumut ini seringkali jadi rumah bagi kepiting, kerang dan umang kecil. Selain karang, ada pula tumpukan batu batu di dekat sungai kecil di pantai tersebut.

Namun, setelah tsunami hamparan karang berlumut itu hancur menyisakan beberapa bagian saja. Tumpukan batu masih ada namun jumlahnya berkurang jauh. Di beberapa tempat, terutama yang bertebing, hamparan pasir pantainya hilang menyisakan pantai yang curam.(Ishana/Red)

Berita Terkait