BINGAR.ID – Kesenian “Gendreh” yang masih berkisar tentang perjalanan “Dewi Srti”, kiprahnya dalam sebuah Leusung, yang dimainkan para perempuan, dengan menggunakan alu sebagai pengukir irama.
Nafas terengah-engah mengimbangi gerakan lincah, pinggang bergoyang, tangan-tangan mengayunkan alu bertalu-talu, suaranya menggema mengeja kata dalam senandung irama.
Demikian sebuah sketsa klasik yang merefleksikan tradisi menumbuk padi, perempuan dusun pedalaman, menampi, mengayak, menyosoh dari gabah menjadi bera.
Potret peradaban yang telah menyatu turun temurun, mewarnai atmosfir kehidupan yang tidak pernah lengah, kewajiban dan tanggungjawab telah menjadi akar budaya pengakuan yang jujur.
Kebiasaan tidak ada istilah canggung, karena kerukunan sudah menjadi bingkai kekeluargaan, terpanggil karena isyarat dan tanda-tanda datang karena mendengar.
Bila suara leusung menggema, kaumnya sudah tahu untuk membantu, satu-satu datang bertandang, mengambil alu leusung ditalu, suara bersambut merangkai irama, sehingga tidak lagi terasa lelah.
Gedeg-gedeg padi tersuun dalan lumbung panjang, setelah menjadi butiran gabah masuk ke lumbapng, tangan-tangan perempuan terus menumbuk hingga gabah menjadi beras.
Gendreh di Pandeglang, disebut juga Tutungguan, Gondang, Nyontrek, Ngalesung atau Ngarempung Nutu, yang kesemuanya dilatar belakangi pengaruh Nyi Pohaci (Dewi Padi-red), sehingga terkandung nafas-nafas ritual. Rasa hormat, memperlakukan secara baik, sejak dituai, dipancong (digedeg-red), naik ke Leuit sampai ke leusung.
Inilah yang mengilhami lahirnya kesenian menumbuk padi, yang mempunyai kandungan filoofi bertuah, dari acara mengingatkan, mengajak, menganjurkan, melarang, selalu tidak menimbulkan kata berbantah.
Suasana kata, rangkaian kalimat membawakan makna sebagai pemahaman nilai-nilai luhur, untuk dijadikan menyibak tirai keberkahan.
Bila panen usai Gendreh mulai bersenandung, pertanda kaum petani berbagai keceriaan melalui lagu kupu-kupu laut, ucing-ucingan, uti-uti uri, tuggul kawung, uwa, setelah mengalun kekidungan sebagai pembuka.
Kesenian Gendreh biasanya dimainkan minimal 8 orang kaum Hawa, menumbuk, menari dan menyanyi, saling bersambut berganti-ganti.
Agar geraknya bia lebih leluasa, namun tetap dalam keadaan santun, kain setinggi mata kaki, kebaya menjadi ciri setiap pemainya, perbedaan hanya model dan warna, beragam namun tetap sehati.
Dengan diawali Toleat (seruling-red) sebagai intro dibarengi tembang, secara serentak seluruh pemain melakukan tutunggulan, gerakan-gerakan jenaka, Gendreh mulai berkiprah. Namun ini hanyalah sebuah cerita, karena budaya ini telah hilang di telan jaman. (Aditya)